[3]. Library

124 14 1
                                    

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Hari semakin hari terlewati dan sekarang sudah hampir dua minggu aku terus membolos di perpustakaan dengan Delio. Aku makin dekat dengannya dan percaya sepenuhnya pada anak yang terpaut dua tahun dariku itu. Begitu halnya dengan Delio, dia baru saja menceritakan novel yang dia baca di perpustakaan.

Aku duduk bersebelahan dengannya, tatapan kita berdua sama-sama mengarah ke atas. Bibirku melengkung ke atas. Delio hanyalah seorang bocah laki-laki di bawahku, tetapi aku merasa begitu sangat nyaman dengannya. Aku menoleh ke arahnya. Dia masih menatap ke atap. Aku sedikit mengernyitkan dahiku karena melihat perban di dagu juga dahinya, lalu tanpa sadar aku menyentuhnya, membuat pemilik perban tersebut sedikit terkejut.

"Delio, kamu dapat luka itu dari mana? Hampir seminggu tapi kayaknya gak pernah lepas dari dagumu. Kamu sakit kah?" Tanyaku dengan nada khawatir.

Delio tersenyum ke arahku. "Iya. Sudah cukup lama."

Aku mengganti posisiku dengan menghadap ke arahnya. Lalu kedua tanganku memegang sudut wajahnya.

"Kamu sakit apa kok engga sembuh-sembuh?" Tanyaku.

Delio, wajahnya bahkan cukup kecil. Dia sedikit menundukkan wajahnya, tetapi tidak mengindahkan tanganku yang berada di kedua pipinya.

"Aku boleh manggil kamu tanpa Kakak engga, Leya?"

Aku sedikit terkejut di tempatku. Lalu, menganggukkan kepalaku. "Boleh aja kok."

Tiba-tiba Delio memejamkan matanya lalu memegang tanganku yang memegang pipinya.

"Kamu engga ngomongin ke siapapun soal aku kan?"

Aku terkekeh di tempatku. "Siapa juga yang harus kuberitahu."

"Aku ingin bercerita sesuatu."

Aku langsung bersemangat di tempatku. "Cerita saja! Aku akan selalu selalu dengerin kamu, Lio karena aku temen kamu. Temen itu selalu ada satu sama lain, dan bisa saling menyemangati." Aku memiringkan kepalaku sembari tersenyum tulus. "Aku bersyukur kau adalah orang tersebut bagiku, dan aku juga ingin menjadi orang tersebut bagimu."

Bibir Delio melengkung ke atas senang. Lalu, dia mengambil kedua tanganku dan menaruhnya di antara kita.

"Aku pernah melihat seorang anak bunuh diri tepat di depan mataku."

Wajahku berubah terkejut. "Kapan?! Aku tidak pernah mendengar berita soal anak yang bunuh diri."

Dia terkekeh. "Itu sudah cukup lama."

Aku menganggukkan kepalaku cepat. "Baik, baik, aku mengerti."

Delio menatap ke arah lain, tatapannya terbilang kosong. "Aku mengenal anak itu, tidak hanya terkadang sering memperhatikannya jadi aku sedikit membaca kepribadiannya. Dia selalu menarik diri dari orang-orang dan hanya membaca novel."

"Itu sangat menakutkan." Ujarnya setelah terdiam cukup lama.

Aku terus mendengarnya dengan seksama.

"Hari itu dia dipukuli di kelas, tubuhnya memar-memar. Dia memutuskan untuk memakai perban di setiap sudut memar itu, bahkan di wajahnya."

Delio menundukkan kepalanya. "Aku tidak percaya setelahnya dia memutuskan untuk bunuh diri."

Aku menutup mulutku tidak percaya, bahkan mataku berkaca-kaca saat mendengarnya. "Itu.. menyedihkan.."

Delio tersenyum miris. "Benar bukan? Sangat menyedihkan, aku tidak bisa membayangkan penderitaan anak itu hingga dia memilih mengakhiri hidupnya sendiri di sekolah. Anak-anak yang merundungnya pun berpura-pura tidak tahu, seolah mereka tidak melakukannya dahulu."

Aku menatap Delio cukup khawatir. "Untunglah kau baik-baik saja bahkan setelah melihat hal itu."

Tiba-tiba anak laki-laki itu memelukku erat. Aku sedikit terkejut di tempatku dan hendak melepas rangkulannya, tetapi dia berteriak menolak.

"Aku butuh seseorang untuk bersandar." Ujarnya di dalam rangkulanku. Aku tidak tahu bagaimana wajahnya sekarang karena tidak bisa melihatnya, hal yang bisa kulakukan hanyalah memeluknya kembali.

"Aku selalu ada untukmu, Delio."

Saat hendak keluar dari perpustakaan seseorang memanggilku. Aku berbalik dan menemukan petugas perpustakaan, seorang pria tua dengan kacamata bertengger di wajahnya. Kemudian tangannya memegang buku.

"Kamu suka sekali berada di rak bagian pojok, apa segitu nyamannya?" Tanyanya.

Aku terdiam berpikir di tempatku, lalu membentuk senyum. "Sangat nyaman." Aku hendak berjalan pergi jika saja petugas perpustakaan tidak memanggilku lagi.

"Aku memperingatkanmu satu hal, Nak."

Aku menoleh ke arahnya bingung.

"Jangan berpikir jika orang lain bisa melihat apa yang kau lihat."

Aku malah makin mengernyitkan dahiku.

"Hanya itu saja."

Setelahnya, petugas perpustakaan mulai sibuk kembali dengan menempel stempel kepimilikan buku. Aku masih mematung di tempatku, berusaha untuk mencerna kata-kata petugas perpustakaan. Sampai akhirnya, aku melangkah pergi dari sana.

-

-

-

-

[✓] Star Lost | Kim DokjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang