[5]. Locked

91 16 1
                                    

———

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

———

Aku membuka mataku dan hanya kegelapan yang kutemukan. Tetapi, aku bisa merasakan sinar dari luar. Aku mengubah posisiku menjadi duduk, sepertinya aku tertidur di perpustakaan.

Aku berjalan ke sana kemari untuk mencari skalar lampu. Setelah ketemu, aku segera menyalakannya, dan pemandangan perpustakaan dengan rak-rak besar mulai terlihat. Aku menuju pintu perpustakaan, memegang pintu dan berusaha membukanya.

Terkunci.

Aku menghela nafasku sembari menaruh tanganku di kepala. Bagaimana aku bisa begitu sial sekarang? Aku juga tidak membawa ponsel karena jarang membawanya.

Aku merasakan ada sebuah bayangan aneh diantara rak-rak. Namun bukannya merinding, aku justru berjalan ke arah rak-rak untuk mencari bayangan tersebut. Aku terus mengikuti bayangan tersebut bahkan hingga berlari. Sampai akhirnya bayangan tersebut berhenti, dan sekarang sebuah tubuh yang kukenal tengah berdiri membelakangiku.

Mataku berkaca-kaca karena melihatnya. "Delio!" Aku berlari ke arahnya dan memeluk tubuh tersebut dari belakang. Aku menangis di punggungnya, menayakan mengapa dia pergi cukup lama.

Delio berbalik. Masih dengan wajah yang diperban di dagunya. Namun, aku merasa jika tingginya sekarang sedikit meningkat. Dia hampir dua senti di atasku. Delio memegang pipiku lalu menghapus jejak air mataku pelan.

"Leya, aku tidak pergi kemanapun."

Tanganku mengepal kuat. "Kau pergi selama hampir dua minggu! Aku menunggumu berhari-hari, tetapi kau tidak kunjung ada!" Kepalaku terarah pada dadanya yang terasa bidang. Tanganku memegang jaket bajunya erat.

Sejujurnya aku merasa sedikit aneh karena dia tampak berumur 15 tahun sekarang. Tetapi aku tidak peduli, asalkan sekarang dia sudah ada di hadapanku.

"Kau tahu bukan?" Ujar Delio tiba-tiba. 

Aku mendongak, wajahnya tersenyum miris ke arahku. Aku menganggukkan kepalaku, lalu memalingkan kepala. Setelahnya, aku bisa merasakan tangannya menggenggam erat tanganku. Tangan yang biasanya lebih kecil dariku sekarang cukup besar.

"Aku tidak peduli entah kau mahluk mistis dan roh. Aku hanya membutuhkanmu." Aku menundukkan kepalaku. Genggaman tangan besar Delio makin erat di antara tubuh kami.

"Aku suka kamu, Delio."

Aku mendongak, bisa kulihat wajah Delio yang pucat menatapku dengan terkejut. Kemudian, dia mengganti ekspresinya dengan senyum. Senyum ramah yang selalu menghangatkan hatiku. Perlahan tangannya mengusap kepalaku dan rambutku. 

"Aku juga Leya."

Setelahnya, kami berdua berjalan bergantian menyusuri perpustakaan sekolah, tetapi dengan tangan yang saling menggenggam. Dia menghentikan langkahnya saat sampai di depan jendela. Lalu, tangannya bergerak untuk membuka jendela tersebut. Dia menyuruhku untuk mendekat padanya. Tatapanku terarah pada halaman yang ada di bawah dengan bingung, kemudian melirik Delio.

"Saat itu, aku meninggal di sana." Ujarnya sembari menunjuk halaman di bawah jendela.

Sekarang aku bisa membayangkan Delio kecil yang terbaring di sana. Wajahnya penuh lebam dan perban. Saat terbaring pun, kepalanya berdarah. Bahkan darahnya berceceran di atas halaman tersebut.

"Kau sedang melihat aku yang terbaring di sana?" Delio menoleh ke arahku sembari terkekeh.

Aku menatapnya dengan perasaan bersalah. "Aku minta maaf."

Dia melirik ke arah halaman di bawah. "Itu sudah cukup lama, sekitar lima belas tahun yang lalu. Aku yang baru saja dipukuli oleh teman sekelasku berjalan ke arah atap. Dengan perasaan yang putus asa, aku mengolok diriku sendiri juga kehidupanku. Kemudian, aku jatuh dari sana."

Aku tidak bisa menjawab apapun dari ceritanya yang sedih. Melainkan, justru memeluknya. Aku bisa merasakan kulitnya yang ternyata cukup dingin. Di pinggangku, dia memelukku kembali.

"Namun, kau tahu, sebenarnya itu bukan kehidupan pertamaku."

Aku membelalak kaget, lalu melepas pelukanku. Aku menatapnya dengan sedikit bingung. "Apa maksudmu?"

Bulan bersinar cukup terang sekarang dari jendela. Bahkan sinarnya masuk ke dalam jendela dan mengenai Delio. Dia masih menggenggam tanganku erat. Tetapi, kepalanya menunduk.

"Nama asliku Dokja, Leya." Ujarnya sembari tersenyum ramah.

Aku mengernyitkan dahiku. "Dokja? Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya, dimana ya?"

"Buku?"

"Benar! Buku 'Tiga Cara Bertahan Hidup di Dunia yang hancur'!" Ujarku setelah mengingatnya.

Dia menganggukkan kepalanya. Lalu, kepalanya menoleh ke arah bulan di atas. Angin berhembus kencang, begitu dingin suhu saat ini.

"Kehidupan pertamaku adalah novel itu. Sangat persis dengan isinya."

Aku menatapnya tidak percaya. "Maksudmu, kau berakhir dengan menjadi oldest dream dan berkelana menggunakan kereta api?"

Dia terkekeh di tempatnya, makin membuatku bingung. Kemudian, sebuah portal aneh tiba-tiba muncul di jendela. Aku menatapnya terkejut, sementara Dokja hanya menatapnya biasa. Mungkinkah portal tersebut adalah dunianya yang lain?

————

[✓] Star Lost | Kim DokjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang