---
Dia menarikku lalu kita berdua sama-sama masuk ke dalam portal tersebut. Dokja menaruh tangannya di mataku, tidak boleh melihat apapun. Kemudian saat suara dari portal tersebut perlahan menghilang, Dokja akhirnya menyingkirkan tangannya dari mataku."Aku bermimpi sebuah dunia yang indah."
Aku menoleh ke arahnya, kemudian pandanganku ke arah sekitar dengan wajah yang cukup terkejut. Kita berada di sebuah perpustakaan. Tetapi, perpustakaan di sini lebih besar dan tidak terbatas. Aku membalikkan badanku hingga Dokja sedikit terkejut. Hal yang kulihat adalah sebuah ruangan yang melingkar dan dipenuhi buku. Tetapi, ruangan melingkar tersebut cukup jauh hingga mengeluarkan kabut yang aneh di daerah ujung.
Aku masih bisa merasakan genggaman tangan Dokja yang dingin. Lalu, kita berdua berjalan di antara rak-rak besar berisi buku-buku. Aku melihatnya, judul buku tersebut kebanyakan berisi 'Tiga Cara Bertahan Hidup' volume apa saja, mulai dari seribu, empat ribu.
Dokja menghentikan langkahnya, lalu berbalik ke arahku. Aku menatapnya dengan sedikit bingung.
"Aku adalah Dokja dari novel itu yang berenkarnasi. Kau tahu ending dari novel tersebut, jika jiwanya tersebar di seluruh alam semesta."
Aku menganggukkan kepalaku.
"Aku adalah salah satu fabel yang tersebar itu. Aku berenkarnasi kembali, tetapi hidupku hanya sampai pada umur tiga belas tahun karena memilih bunuh diri."
"Lalu? Bagaimana dengan keadaanmu yang sekarang?"
Tangan yang menggenggam erat tanganku makin terasa besar. Sekarang aku bisa melihat seorang pria yang memakai coat putih, dan sangat tinggi dariku.
"Setelah kematianku, aku menjadi roh perpustakaan. Hal yang kulakukan hanyalah membaca buku. Sampai akhirnya portal itu muncul, dan pada akhirnya aku tahu asal usulku yang sebenarnya."
Dokja berbalik, sekarang tubuhnya cukup tinggi walaupun masih begitu kurus. Terdapat coat putih yang menempel di tubuhnya. Perlahan aku bisa melihat tangannya yang terangkat, kemudian sinar aneh keluar dari sana dan membuat satu perpustakaan bergetar.
Aku menutup mataku karena sedikit takut. Kemudian, saat aku membuka mataku. Aku bisa melihat rak-rak tersebut terbang. Bahkan buku-buku yang ada di sana juga ikut berterbangan. Dokja menggenggam tanganku kembali dan membawaku bergerak di perpustakaannya. Seluruh benda, entah meja, kursi, lampu belajar, semuanya berterbangan. Kecuali rak-rak tinggi yang berada di dinding. Bahkan buku-bukunya masih tertata rapi di sana.
"Kau tahu, dunia yang kita pijaki sekarang adalah dunia fiksi."
Aku menoleh. "Fiksi?"
"Ini dibuat oleh seseorang." Ujarnya lagi.
"Bahkan hidupku?" Tanyaku.
Tsucuchut!!
Aku dan Dokja berlari ke sudut perpustakaan. Sebuah sinar aneh muncul dan membuat kabut di perpustakaan. Aku ketakutan di tempatku, tetapi Dokja menggenggam tanganku erat. Tangan tersebut perlahan mengecil seperti tangan yang kuingat. Tingginya mulai merendah kembali. Coat putih yang ada di tubuhnya pun menghilang. Berganti dengan baju khas sekolah menengah pertama, dengan jaket yang selalu dia pakai.Portal terbuka, Dokja mengarahkanku untuk masuk ke dalam portal tersebut. Tetapi, aku menahannya. Aku berbalik ke arahnya dengan wajah takut, dia berusaha melepas genggaman tangannya, tetapi aku justru menggenggamnya lebih kuat.
"Leya! Jika kau terjebak di sini kau tidak akan bisa kembali!" Ujarnya dengan nada suara seperti anak laki-laki. Matanya berkaca-kaca.
"Kenapa kau hendak membuatku masuk ke portal sendirian?! Bagaimana jika kau juga tidak bisa kembali?!" Aku berteriak ke arahya.
Dokja yang sudah berkamuflase menjadi anak berusia tiga belas tahun menangis. Hatiku makin sakit dibuatnya. Lalu, aku memeluk anak yang sekarang tingginya hanya sebahuku. Aku dan dia sama-sama menangis di sana, bersamaan dengan kabut kuning yang mulai mendekat.
"Aku tidak bisa membuatmu terjebak di sini."
Setelahnya, Dokja mendorongku masuk ke dalam portal. Suara-suara aneh dari portal mulai mengisi pendengaranku. Hal yang kulihat hanyalah Dokja yang perlahan menghilang menjadi serpihan-serpihan saat ditelan kabut.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Star Lost | Kim Dokja
Fanfiction"Aku pernah mencintai sebuah cerita, bahkan karakter-karakter yang ada di sana. Aku memimpikan mereka dan kebahagiaan yang mereka dapat. Namun, aku tidak pernah memimpikan kebahagiaanku sendiri." --- Delio, tertanda sebagai seorang anak kecil berus...