[2]. Where?

39 12 0
                                    

----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

----

4 tahun lalu. Library another world.

"Sejujurnya aku bingung akan sesuatu Dokja."

Aku menoleh ke samping. Menatap pria dengan coat putih di tubuhnya. Rambut yang menutupi dahi. Dan wajah yang terlihat cukup dewasa dengan senyum kecil di bibirnya. Dokja cukup tampan. Bahkan membuatku tidak berpaling sesaat.

"Apa yang kau bingungkan Leya? Kenapa malah menatapku segitunya?" Dokja tertawa kecil sambil menggodaku.

Aku langsung memalingkan wajah dengan wajah yang tersipu merah. Dokja justru tertawa keras di sampingku. Dia bersandar pada rak di sampingnya. Sementara aku mulai mengambil salah satu buku dari rak tersebut.

"Aku ingin bertanya bagaimana bisa salah satu serpihanmu berada di sini? Lalu, novel di perpustakaan? Apakah itu benar-benar ada dengan sendirinya di sana? Atau mungkin ditulis oleh seseorang?"

Dokja berpikir sesaat. Lalu, dia membalik badannya sambil melipat kedua tangannya. Aku menatapnya dengan perasaan ingin tahu khas anak berusia lima belas tahun.

"Kalau dipikir-pikir memang konsepnya ruwet. Tapi aku akan menjelaskan dengan jelas agar kau memahaminya."

Aku mengangguk antusias yang membuat Dokja gemas. Dia memegang puncuk kepalaku yang setinggi dadanya dan mengacak-acak rambutku.

"Baik, jadi begini, novel itu, kisah hidupku di kehidupan sebelumnya memang ditulis oleh seseorang."

"Orang itu..?"

"Salah satu rekanku dalam novel tersebut, Han Sooyoung."

"Ah, jadi itu memang benar dia. Bukankah itu memang sudah diceritakan di novel? Tentang dialah yang membuat cerita ini? Lalu memasukkan dirinya sendiri ke dalam cerita ini sebagai peran pembantu."

"Tentu saja. Dia juga salah satu rekan yang membantuku bertahan hidup selama ini."

Aku mengangguk mengerti. "Lalu, bagaimana novel ini bisa tersebar di berbagai dunia?"

"Yoo Junghyuk yang melakukannya. Dia pergi ke sana kemari agar bisa menyalurkan kisah hidupku di berbagai dunia."

Aku masih agak bingung dengan ini. "Pria fiksi sepertinya, berada di dunia ini?"

"Tidak, ini tidak fiksi, ini nyata. Dia pasti pernah kemari, membuat salah satu penulis di dunia ini untuk membuat ceritaku. Lalu, bisa berada di perpustakaan sekolah."

"Kenapa dia melakukan itu?" Aku bertanya lagi.

"Agar serpihan diriku di dunia ini mengingatnya. Agar aku yang ada di dunia ini mengingat jika dahulu pernah bersama mereka, berjuang bersama. Mengingat bahwa dahulunya aku adalah Dokja, pembaca yang sendirian."

Aku menggapai salah satu tangan Dokja. Sangat dingin sedingin es. Namun, aku justru menggenggamnyaa. Aku ingin menyalurkan kehangatanku padanya.

"Tapi, bagaimana kau tahu semua itu? Itu dilakukan setelah kau pergi.." Aku berujar lirih.

"Kau tahu bagaimana berakhirnya novel itu dengan aku menaiki kereta bukan? Di dalam kereta tersebut, saat jiwaku masih utuh, aku bisa melihat rekaman dunia-dunia. Karenanya aku mengetahui lebih dari apapun saat Han Sooyoung membuat ceritaku dan Yoo Junghyuk berusaha menyalurkan ceritaku ke berbagai dunia."

"Mereka terlihat amat merindukanmu, Dokja."

Dokja tersenyum kecil. "Tapi memang apa yang bisa kulakukan? Aku sendiri juga tidak berdaya di sini. Aku cuma salah satu serpihan yang berhasil renkarnasi di dunia ini. Aku tidak utuh. Diriku yang utuh masih berkelana menggunakan kereta api. Menunggu serpihan dirinya mulai terlepas dan berada di dunia lain lewat rekaman dunia yang ada di jendela kereta."

Dia menundukkan kepalanya. "Akan lebih baik aku hidup sebagai Delio mulai saat ini. Eh tunggu, aku kan sudah mati, haha."

Aku memeluknya dari samping. Seperti anak kecil yang memeluk orang dewasa. Bahkan tanganku tidak bisa menggapai tanganku yang lain saat memeluknya.

"Jangan berbicara seperti itu, Delio."

Dokja mengelus-elus puncak kepalaku lagi. Lalu, tatapannya tertuju ke arah langit-langit perpustakaan. "Aku hanya bisa berharap, mungkin serpihan diriku yang lain bisa menemui mereka lagi."

---

Saat ini aku sudah berada di depan pintu perpustakan sekolah menengah pertamaku. Aku masih memakai baju sekolah menengah atasku. Tanganku memegang ganggang pintu, tetapi entah mengapa aku belum membukanya. Pikiranku berkabut.

Namun, setelah beberapa menit melamun. Aku langsung mendorong ganggang pintu hingga bisa terbuka ke dalam. Petugas perpustakaan menatapku dengan datar. Aku menghampirinya, memberinya sekresek gorengan untuk dimakannya.

"Nih pak, makanya keluar buat beli makan. Introvert bener." Aku mencerocos sambil menaruh gorengan tersebut di piring.

"Kaya kamu engga aja, Nak." Jawabnya.

"Aku punya banyak teman ya sekarang!"

"Kalau begitu kenapa tidak ajak mereka kemari? Kenapa kau selalu sendiri?"

Aku berpikir sesaat setelah kata-katanya barusan. "Ah, udahlah bukan urusanmu, Pak. Sudah kerja sana. Aku mau baca lagi di sini." Setelahnya, aku segera pergi menuju rak-rak. Masih ada beberapa anak sekolah menengah pertama yang berada di perpustakaan. Ada yang menyapaku akrab bahkan mengajakku berbincang-bincang.

Aku kembali mengambil novel 'Tiga Cara Bertahan Hidup di Dunia yang Hancur'. Kemudian, membuka halaman ngawur dan membacanya. Masih dengan halaman yang terbuka. Aku beranjak dari posisiku lalu berjalan-jalan di perpustakaan. Sampai akhirnya, langkahku terhenti pada jendela yang tertutup tirai.

Jendela dengan pemandangan halaman belakang di mana Delio meninggal dunia.

Aku mendekati jendela tersebut. Membuka tirainya yang menampilkan pemandangan petang hari. Lalu, membuka jendela tersebut hingga terbuka sepenuhnya. Tatapanku kembali tertuju pada halaman belakang dengan bayang-bayang saat Delio terbaring mengenaskan di sana.

Itu membuat hatiku berdenyut sakit.

Namun, karena hembusan angin yang kuat aku menjatuhkan novel yang kubawa di atas lantai. Aku menundukkan kepalaku, hendak mengambilnya kembali. Namun tiba-tiba sesuatu yang bersinar muncul dari buku tersebut.

Cahaya kecil segenggam tanganku tiba-tiba berada di depanku. Aku menatapnya dengan bingung. Lalu, saat tanganku berusaha memegang cahaya tersebut. Cahaya itu berganti dengan sebuah jam pocket bewarna emas.

Aku menatapnya dengan bingung. Lalu, aku menekan tombol di atasnya yang membuat jam itu terbuka. Menampilkan waktu yang sangat berkebalikan dengan waktu saat ini. Kemudian, saat aku mendongak ke atas. Aku terkejut bukan main saat melihat sebuah portal yang muncul di jendela. Persis saat pertama kali aku melihat portal tersebut dengan Delio.

-

-

-

-

To be continued

[✓] Star Lost | Kim DokjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang