🦋Ektra Chapter 2 ☂️[TAMAT]🦋

544 13 6
                                    

Ektra Chapter 2 || Pergi Tanpa Berpamitan

Lampu pada bagian depan ruang operasi, telah berganti dari merah ke warna hijau. Lampu hijau yang berarti operasi telah selesai.

Gavin yang sedang membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan, tidak pernah menyadari pergantian lampu.

Seorang dokter terlihat keluar dari ruang operasi dan berjalan mendekati Gavin. "Operasinya berjalan lancar," ucapnya.

Mendengar perkataan dokter, membuat Gavin sontak mendongakkan kepalanya. "Bagaimana operasinya dok?" tanya Gavin.

Sepertinya dia tidak mendengar perkataan dokter barusan.

Dokter itu pun tersenyum. Dia sangat memahami keadaan Gavin saat ini. "Operasinya berjalan lancar," jelas dokter itu.

Mendengar penjelasan dokter, membuat Gavin menghela nafas lega. Akhirnya sekarang ia bisa menghirup udara dengan tenang.

"Apa saya sudah bisa melihat keadaan istri saya sekarang?" tanya Gavin penuh harap.

"Maaf, belum bisa. Anda bisa melihat keadaannya nanti, kalau pasien sudah di pindahkan ke ruangan biasa," jelas dokter.

Gavin mengangguk paham. "Terimakasih dok," ucapnya.

Dokter itu pun berpamitan pergi dan meninggalkan Gavin sendirian di sana.

Gavin menyandarkan kepala ke tembok, sambil memejamkan mata. Ia sangat lelah, matanya sangat mengantuk. Dia belum tidur sejak kemarin. Rasa kantuk itu baru muncul setelah dia merasa sedikit lebih tenang. Tanpa sadar, ia pun sejenak tertidur dalam kondisi yang kurang nyaman itu.

Terlihat seorang perempuan yang sedang berdiri sendirian di tepi sungai. Perempuan dengan gaun putih pendek selutut. Di puncak kepalanya terdapat mahkota yang terbuat dari akar dan dihiasi bunga. Gavin yang melihat perempuan itu pun langsung berjalan menghampirinya. Gavin mengerutkan kening melihat punggung perempuan itu. Dia jelas sangat mengenali punggung itu. Punggung, tinggi badan, lekuk tubuh hingga rambut, sangat dia kenali.

"Rania," batinnya.

Gavin tersenyum, dia sangat yakin, bahwa perempuan di depannya saat ini adalah Rania. Ia mulai berjalan mendekati perempuan itu lebih dekat. Namun, langkah kakinya terhenti dan senyumannnya pudar, saat perempuan itu berbalik.

"Ruliya."

Ruliya yang di panggil hanya mengembangkan senyuman. Gavin yang masih terlihat bingung, memberanikan diri memegang kedua lengan Ruliya.

"Kamu dari mana? Di cari ke mana-mana gak ketemu. Di telepon juga gak bisa," oceh Gavin dengan nada lembut.

Dia sangat senang bisa menemukan keberadaan Ruliya. Dia memperhatikan wajah istri keduanya itu dengan saksama. Rasa rindu di hatinya kini sudah terobati. Sosok yang dia rindukan, sekarang berada di hadapannya.

Rindu?

Rasa rindu kini ia rasakan. Mungkin rasa cintanya pada Ruliya semakin besar. Walaupun sulit dia ungkapkan. Ego di hatinya masih berdiri tegak. Dia bersikeras bahwa perasaan itu tidak nyata. Itu semua terjadi hanya, karena mereka sering bersama.

"Kita pulang yuk," ajak Gavin. Dia sudah seperti berbicara dengan anak kecil.

Ruliya yang di ajak bicara hanya diam, dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Gavin menghembuskan nafas berat.

"Rania udah sembuh. Ada orang baik yang memberikan jantung untuknya. Jadi sekarang kita ke rumah sakit ya, kita ketemu kakak kamu. Dia pasti kangen banget sama kamu."

Entrusted Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang