12. Sudut Pandang Para Pelayan

1.3K 71 0
                                    

Sembari bersenandung pelan, Lilly terus berjalan menyusuri taman yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga.

"Ini ... aroma alam." Sudut bibir Lilly terangkat dengan jelas. Padahal baru satu minggu, tapi Lilly sudah sangat merindukan bunga-bunga yang ada di taman itu.

Selama satu minggu belakangan ini, Ian benar-benar menepati perkataannya yang mengatakan, bahwa ia akan menjadi pengangguran. Yang jadi masalahnya adalah, Ian terus menerus menyiksa Lilly. Hingga untuk berjalan keluar dari kamar saja, terasa sulit bagi Lilly. Selain itu, tiap kali Lilly memiliki waktu luang, Ian selalu saja datang mengganggu.

Meski begitu, anehnya, itu berhasil membuat Lilly tersenyum. Sewaktu teringat bagaimana kekanakannya Ian saat berada di dekatnya, Lilly merasa terhibur. Apa kehidupan pernikahan, memang lumrahnya seperti itu?

Kendati demikian, Lilly masih tidak bisa mengabaikan bahwa di antara hubungannya dengan Ian, ada Almira Claire, seseorang yang memiliki hubungan cukup dekat dengan Ian, termasuk keluarga Ian.

Hal itu sangat berbeda dengan Lilly. Meski sudah satu tahun berlalu, Lilly sedikit pun tidak dekat dengan nenek maupun mamanya Ian. Hubungan Lilly dengan keluarga Ian hanya sebatas formalitas saja.

"Nyonya ...."

Lilly menoleh, melihat Ella yang tampak kelelahan. Penampilan pelayan pribadinya itu pun terlihat agak kacau.

"Saya langsung cari Nyonya setelah tahu kalau Tuan Ian pergi," ucap Ella.

Lilly tertawa pelan. Memang, Lilly sendiri pun, sengaja langsung keluar usai mengetahui bahwa pagi-pagi sekali, Ian pergi. Sebenarnya, semalam Ian telah memberitahukan pada Lilly mengenai ke mana dan apa yang hendak dilakukan Ian. Namun, Lilly tidak begitu mengingat detailnya karena Ian memberitahukan pada waktu yang kurang tepat.

"Soal yang waktu itu aku minta, apa udah ada?"

Ella terdiam sebentar. Ia terus mencoba mengingat hal yang dimaksud Lilly sembari merapikan penampilannya yang berantakan.

"Apa yang Nyonya maksud, tentang pekerjaan itu?"

Lilly mengangguk.

Dengan buru-buru, Ella mengeluarkan buku catatan kecil dari kantongnya. "Saya akan membacakannya."

"Biar aku baca sendiri aja nanti." Lilly mengulurkan tangan, meminta Ella untuk menyerahkan buku itu padanya.

Selama ini, Lilly sekali pun belum pernah terjun ke dunia kerja. Sebenarnya, Lilly pernah mencobanya sekali. Semasa Lilly masih tinggal di Aarhus. Di usianya yang ke tujuh belas, Lilly pernah mencoba bekerja dengan tujuan meringankan beban Mommy. Akan tetapi, begitu Mommy mengetahui, Lilly langsung dimarahi habis-habisan. Ditambah lagi, Madam Tessa juga memberikan hukuman yang cukup berat, dengan alasan bahwa Lilly telah membuat mommy-nya khawatir.

Karena itulah, selain belajar, Lilly merasa bahwa ia tidak dapat melakukan apapun. Lilly hanya bisa mengandalkan otaknya.

"Ella, apa Ian masih terus cari tau tentang aku?"

Ella terkesiap. Hingga saat ini, Ella selalu merasa takjub dengan Lilly. Dan kali ini, Ella jauh lebih takjub lagi. Padahal selama satu minggu ini, Lilly cukup jarang keluar kamar. Terlebih lagi, di hadapan Lilly, tidak mungkin ada pelayan yang berani membicarakan Lilly. Tidak, soal itu ... mereka, para pelayan kediaman Archandra telah berjanji untuk membicarakan tentang majikan mereka diluar jam kerja. Dan di tempat yang tidak ada Lilly di sana.

"Sampai kemarin sore, Tuan Ian masih menanyakan berbagai hal tentang Nyonya pada pelayan yang lain," jawab Ella. "Setahu saya, Tuan Ian hanya menanyakan hal-hal yang Nyonya suka dan tidak suka aja. Tuan Ian, sama sekali tidak menanyakan pertanyaan yang terlalu privasi."

Menyadari betapa kerasnya Ella berusaha untuk tidak menjelekkan citra Ian, Lilly sempat bergeming. Ini pertama kalinya Ella memihak pada Ian.

"Jadi, Ian ngelakuin hal yang ga berguna, ya."

Ella mengernyit. Hal yang seperti itu, kenapa disebut tidak berguna?

Well, meski masih tidak suka, setidaknya Ella tahu bahwa Ian berusaha amat keras untuk menyenangkan Lilly. Bahkan Ella kira, hubungan Lilly dengan Ian sudah cukup baik sekarang. Karena itu pula, Ella sempat heran, mengenai Lilly yang meminta daftar pekerjaan yang telah dibuat olehnya. Ella kira, karena hubungan Lilly dengan Ian sudah membaik, Lilly tidak akan lagi membahas soal itu.

Sedari tadi, Ella sangat ingin menanyakan alasan mengapa Lilly masih menginginkan daftar pekerjaan tersebut. Akan tetapi, mau bagaimanapun, Ella hanya sebatas pelayan saja. Ella sama sekali tidak boleh melewati batas dengan menanyakan hal-hal pribadi mengenai majikannya.

"Apa kamu punya saran?"

Ella terdiam sebentar. "Sebenarnya, saya sempat berpikir, bagaimana jika Nyonya mencoba pekerjaan sebagai nyonya rumah dulu?"

"Ya?" Lilly menautkan alis menatap Ella. Jika diingat-ingat lagi, selama tinggal di sana, Lilly tidak pernah melakukan apapun yang menghasilkan keuntungan untuk kediaman Archandra. Lilly hanya menjalani kehidupannya sebagai istri yang menunggu kepulangan suami. Jika tidak ada hal yang penting dan mendesak, Lilly sama sekali tidak keluar dari kediaman itu.

"Maksud saya, tugas yang saat ini dikerjakan Matthew. Terkait biaya pengeluaran kediaman ini, gaji para pelayan, dan beberapa hal lainnya, pada dasarnya itu pekerjaan yang harus diselesaikan oleh nyonya rumah," jelas Ella. "Saya tahu soal ini, karena ada dibahas di kontrak kerja."

Mengetahui betapa cerdasnya Lilly, Ella yakin, Lilly pasti akan mengerjakan tugas itu dengan baik.

"Nyonya, apa saya boleh bersikap lancang sebentar?"

Lilly mengangguk.

"Saya tidak tahu apa yang Nyonya pikirkan tentang kami," ujar Ella sembari menggenggam kedua tangan Lilly. "Tapi bagi kami, Nyonya sangat penting. Keberadaan Nyonya di rumah ini, merupakan kebahagiaan tersendiri bagi kami. Kami sangat lega karena Nyonya yang menjadi Nyonya rumah kami. Selain itu, Nyonya juga selalu membantu kami saat kami menghadapi kesulitan. Saat ada yang membuat salah pun, alih-alih marah, Nyonya hanya memberitahukan kesalahannya dengan sabar. Nyonya selalu memperhatikan kami dengan baik. Bahkan, Nyonya mengenal seluruh pelayan yang ada di kediaman ini. Nyonya rela membuang waktu Nyonya yang berharga hanya untuk menanyakan kabar kami. Itu saja, sudah sangat cukup bagi kami. Kami sangat senang karena bisa melayani Nyonya. Jadi kali ini, apapun yang ingin Nyonya lakukan, selama hal itu tidak membuat Nyonya terluka, saya dengan senang hati akan mendukung Nyonya."

Lilly terdiam cukup lama. Ia baru tahu bahwa para pelayan memiliki pemikiran yang seperti itu. Hal tersebut entah mengapa membuat Lilly sangat terharu. Itu juga membuat Lilly merasa, bahwa ia tidak lagi sendirian.

Di kediaman Archandra, banyak orang yang melimpahkan kasih sayang untuknya. Yang mana kasih sayang itu, tidak didapat Lilly dari mommy-nya.

"El-Ella? Kamu nangis?"

Dengan panik, Lilly menyentuh pundak Ella yang bergetar.

"Soalnya ... saya sangat khawatir pada Nyonya. Nyonya tiba-tiba meminta daftar pekerjaan itu. Saya takut Nyonya akan pergi dari sini ...."

Lilly tersentak. Sebab, hal yang dikhawatirkan Ella merupakan rencana yang akan diwujudkan Lilly.

Melihat betapa besarnya rasa kekhawatiran itu, Lilly jadi merasa bersalah. Lilly merasa bahwa ia telah mengkhianati kepercayaan para pelayan untuknya.

"Aku ga akan pergi. Jadi jangan khawatir." Lilly tersenyum, membawa Ella ke dalam pelukannya, lalu menepuk pelan punggung Ella. "Rupanya, Ella cengeng juga, ya."

Dalam isak tangisnya, Ella memprotes pada Lilly yang baru saja tertawa.

"Nyonya janji, ya ... jangan tinggalkan saya."

"Oke. I promise."

~

Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang