9. Petisi Dari Pelayan

1.6K 98 1
                                    

"Kalian lihat semalam, 'kan? Nyonya sampe lari dari kamarnya. Cuma pake gaun tidur. Tau-taunya pas masuk, lutut Nyonya luka. Aha! Nyonya Lilly juga nangis. Serius, selama ini aku ngira kalau Nyonya kita itu produk AI. Makanya ga pernah ngeluarin air mata. Walaupun punya suami kayak Tuan Ian."

"Tuan kamu bilang? Manusia yang tega nelantarin Nyonya Lilly masih kamu panggil tuan?"

Anna, pelayan dengan rambut pendek pirang itu menoleh menatap Ella, yang memang sedari awal ada di ruang istirahat para pelayan. "Ya, mau bagaimana lagi? Seberengsek apapun Tuan Ian, kita tetap makan dari hasil jerih payah di kediaman Archandra, kan?" Anna menghela napas. Sembari memperbaiki sanggulan rambutnya, Anna kembali berujar, "Apa aku beralih majikan aja, ya?"

"Kak Anna baru kepikiran soal itu sekarang?" Nora, pelayan bermata sipit itu mengeluarkan selembar kertas dari kantong apron yang dikenakan. "Lihat, nih! Semua pelayan di kediaman Archandra udah setuju buat naikin Nyonya Lilly ke tahta yang paling tinggi. Kalau mau cari muka, cukup di depan Nyonya Lilly aja." Nora tersenyum cukup lebar hingga lesung pipitnya tercetak dengan jelas.

"Sebentar. Ini ada satu manusia lagi yang belum tanda tangan." Ella mengambil selembar kertas itu dari tangan Nora.

"Biasa, Kak. Dia 'kan orangnya ga berpihak ke sebelah."

"Matthew ... aku bakalan protes ke dia sekarang juga."

Dengan langkah berapi-api, Ella bergegas keluar dari ruangan tersebut. Para pelayan yang lain merasa cukup takjub, sekaligus bangga pada Ella yang dipenuhi dengan semangat juang itu.

•••

"Kenapa di luar berisik begitu?" Usai mengakhiri panggilan teleponnya, Ian menatap ke arah lelaki yang berdiri di dekat pintu masuk kamar pribadinya.

Raut wajah yang kelihatan penat yang terpancar dari lelaki berpakaian rapi itu membuat Ian mengernyitkan dahi.

"Kayaknya, setelah satu tahun aku tinggalin, kamu jadi punya kebiasaan baru, ya," ucap Ian. "Kamu jadi hobi bermalas-malasan."

"Tidak mungkin saya begitu, Tuan." Matthew, seseorang yang bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di kediaman Archandra tersebut menyanggah dengan cepat. Jujur saja, keributan yang terjadi di kediaman Archandra saat ini, akarnya berasal dari majikan Matthew sendiri. Dan menurut Matthew, itu semua juga terjadi atas kesalahan sang majikan yang dengan kurang ajarnya telah menoreh luka batin, serta luka fisik pada Nyonya rumah yang sangat Matthew hormati. Karena itulah, alih-alih meredakan amarah para pelayan, Matthew hanya membiarkannya saja. Matthew seakan menutup mata dan telinga, memberikan keleluasaan pada para pelayan untuk menghina--mencaci-maki majikannya sendiri.

"Apa? Kamu mau protes sesuatu lagi?"

Matthew sempat tersentak. Pertanyaan yang diajukan oleh Ian terlalu tepat pada sasaran.

"Kali ini bukan saya, Tuan," jawab Matthew. "Pagi-pagi sekali, para pelayan terus protes soal Tuan Ian yang telah memperlakukan Nyonya Lilly dengan sembarangan."

Ian tersenyum masam, lalu tertawa seperti seseorang yang telah kehilangan akal sehat--well, ini menurut sudut pandang Matthew pribadi.

Pada kenyataannya, Ian tidak menyangka bahwa Matthew, seseorang yang paling patuh pada peraturan, yang bahkan menganggap bahwa melanggar perintah sebagai kejahatan paling tidak manusiawi itu, kini malah menyindirnya secara terang-terangan.

Sebenarnya, Ian sendiri juga tidak menyangka situasi seperti saat ini akan terjadi. Semua pelayan yang dipekerjakan Ian secara pribadi, malah berkhianat. Ian merasa, Amaryllis Cecilie telah mengambil alih kediaman Archandra dari genggamannya.

"Kalau mereka ga senang, pecat aja." Dengan enteng, Ian melontarkan kalimat itu.

"Mereka meminta saya menyampaikan, bahwa mereka akan dengan senang hati berhenti. Asalkan Tuan Ian angkat kaki dari kediaman ini."

Ian membelalak. "Punya keberanian dari mana mereka sampe ngomong begitu?"

Matthew tersenyum lebar. Seolah-olah, ia telah menanti-nantikan pertanyaan itu diajukan oleh Ian. "Nenek Tuan Ian sendiri ... sumber keberanian mereka."

Ian menghela napas. Jika memang begitu, maka tidak heran jika para pelayan bersikap seperti itu padanya.

"Jadi, Tuan, para pelayan juga telah membuat petisi untuk menurunkan status Tuan di kediaman Archandra ini. Ini ... bentuk dari pengkhianatan, 'kan? Apa yang harus saya lakukan pada mereka--"

"Hari ini kamu terlalu banyak bicara, Matthew," interupsi Ian. Sembari beranjak ke arah pintu, Ian berujar, "Mulai hari ini aku mau jadi pengangguran. Jadi sisanya, kamu yang urus." Ian menunjuk ke arah meja yang ada di dekat jendela. Di sana, terdapat tumpukan dokumen yang tertata dengan rapi. "Sebagai tambahan, sebelum semuanya selesai, jangan pernah punya pikiran buat keluar dari kamar ini."

"Ya?" Matthew membelalak. Padahal, Matthew hanya sebatas pengurus rumah saja. Mengenai dokumen-dokumen perusahaan, Matthew bahkan tidak dapat memahaminya dengan baik.

"Jangan banyak alasan. Kamu 'kan lulusan terbaik yang terperangkap di kediaman Archandra."

Tanpa melihat ke belakang sekali pun, Ian langsung keluar dari kamar pribadinya. Mengurung Matthew dengan pekerjaan yang telah ia telantarkan.

•••

"Ian?"

"Kamu udah bangun?"

Ian melangkah dengan perasaan yang begitu antusias, mendekati Lilly yang baru saja bangun.

Lilly yang kelihatan malu-malu, yang mana saat ini hanya menunjukkan wajahnya saja dari balik selimut, membuat Ian benar-benar merasa gemas.

"Mau mandi dulu? Atau makan dulu?"

Lilly melihat ke sekitar. Gorden jendela kamarnya masih tertutup dengan rapat. Akan tetapi, Lilly masih bisa melihat dengan jelas dari celah ventilasi. Bahwa cuaca hari ini, mungkin cukup cerah.

Namun yang lebih penting adalah, bukan soal cuaca cerah itu. Tetapi, pria yang saat ini duduk di sebelah Lilly. Lilly bangun dalam keadaan kacau--sangat kacau. Sementara Ian, bagai produk yang baru saja dicetak. Rapi, wangi, dan tampan.

"Aku mau mandi dulu ...," jawab Lilly dengan lirih. "Ian keluar aja. Aku--"

"Kalau aku keluar, siapa yang bakalan bantuin kamu mandi?"

Lilly menghela napasnya. Kepalanya jadi tambah pusing. Padahal, Ian baru membiarkannya tadi pagi. Itu pun, setelah Lilly memohon dengan segenap jiwa dan raganya.

Padahal lagi, dari apa yang Lilly dengar, kegiatan seperti itu akan terasa menyenangkan. Rupanya, itu hanya menyenangkan bagi pria saja.

"Kamu ...." Ian menyentuh pipi Lilly, mengusapnya dengan perlahan, lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Aku merasa ternodai karena kamu natap aku pake tatapan mesum itu."

"M-mesum?!!"

Ian menyeringai. "Lilly, jangan godain aku lagi. Kalau kita lanjutin kegiatan yang baru berakhir beberapa jam yang lalu, ke depannya, aku ga bisa menjamin kamu bisa merangkak ke atas badan aku dengan cara yang imut kayak semalam lagi."

"Merang ... merangkak Ian bilang?!" Spontan, Lilly langsung menampar pipi Ian. Tak berhenti di sana, Lilly bahkan menarik rambut Ian yang telah tersisir dengan rapi. "Ian gila!"

Bagaimana bisa ... setelah satu tahun menikah, Lilly baru sekarang mengetahui bahwa Ian Austin Archandra memiliki kebiasaan yang menyimpang seperti itu.

~

Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang