2. Sarapan

3.1K 127 0
                                    

"Mau pergi lagi?"

Lilly menyadari penampilan Ian yang berubah drastis setelah mandi. Penampilan amburadul yang sempat dilihat Lilly tak lagi ada. Bahkan, rambut Ian yang sedikit basah itu pun kelihatan amat rapi.

Sebenarnya, sebelum Ian mandi, Lilly menawarkan diri untuk membantu Ian. Dari apa yang diajarkan Bibi Parvita pada Lilly, membantu suami berganti pakaian merupakan hal paling umum yang sudah sepatutnya dilakukan oleh istri. Akan tetapi sewaktu tiba di kamar Ian, Ian malah tidak mengizinkan Lilly untuk menyentuhnya meski hanya sebentar saja. Hingga pada akhirnya, Lilly pun keluar dari kamar Ian.

Sembari menunggu Ian untuk sarapan, Lilly mengganti gaun yang dikenakan dengan pakaian yang lebih nyaman. Dengan blus dan rok bermotif bunga yang melewati lutut yang dikenakan, Lilly kembali menyapa Ian yang baru saja melewati ruang makan.

"Mau sarapan dulu ... em, Mas?"

Kali ini, Lilly dapat membaca dengan jelas ekspresi Ian. Lelaki itu terlihat cukup terkejut dengan panggilan yang baru saja dilontarkan Lilly. Well, bahkan Lilly sendiri pun cukup terkejut dengan dirinya sendiri yang menggunakan panggilan seperti itu.

Karena perbedaan umur yang berjarak 5 tahun, Lilly kira memanggil nama Ian langsung bukanlah pilihan yang baik. Karena itu, Lilly meminta saran pada Bibi Parvita. Dan panggilan mas, merupakan panggilan yang paling direkomendasikan oleh Bibi Parvita. Namun setelah menghadapi situasinya langsung begini, Lilly merasa tidak yakin bahwa panggilan mas adalah pilihan yang tepat.

"Aneh, ya? Kalau begitu, aku panggil nama aja ... boleh?"

"Iya, boleh." Kali ini, Ian menjawab dengan cepat.

Lilly tersenyum. Lalu, untuk yang kedua kalinya, Lilly kembali mengajak Ian untuk sarapan.

Diluar dugaan Lilly, Ian langsung menyetujuinya dengan cepat pula.

"Ada apa? Kamu ga ikut sarapan?" Ian menoleh ke belakang, menatap Lilly yang masih berdiri mematung di sana.

"Ah, aku ikut!"

Entah cuma perasaan Lilly saja, Lilly merasa bahwa sekarang Ian jauh lebih tampan. Rahangnya yang tegas, serta kulitnya yang agak kecokelatan, terlihat begitu menarik bagi Lilly. Tidak, Lilly yakin, dengan tampang seperti Ian, pasti pergi ke mana saja akan terasa mudah. Bahkan jika tidak memiliki apapun, Ian cukup mengekspos fotonya ke publik. Dengan begitu, tawaran iklan pun akan berdatangan dari segala penjuru.

Selama sarapan, baik Ian maupun Lilly, tidak ada yang memulai percakapan. Yang terdengar hanyalah suara sendok yang berdentingan dengan piring. Sesekali, juga terdengar suara daging yang diiris.

Karena menu yang disajikan adalah menu favorit Ian, Lilly jadi yakin bahwa semuanya sesuai selera Ian. Jadi, tidak akan ada masalah dengan sarapan yang saat ini mereka makan.

Kendati demikian, duduk berhadapan dengan Ian bukanlah hal yang mudah bagi Lilly. Meski sering mendengar cerita tentang masa lalu Ian, tetap saja Lilly merasa asing kala berhadapan langsung seperti sekarang ini. Lilly hanya merasa akrab dengan masa lalu yang diceritakan oleh Bibi Parvita saja. Hanya sebatas itu.

"Amaryllis, malam ini kita bakalan pergi ke pesta ulang tahunnya Nenek," ucap Ian. Tepat setelah Ian menyelesaikan sarapannya.

Lilly menelan dengan cepat makanan yang sedang dikunyah sembari meletakkan sendok yang tengah dipegang.

"Nenek?"

Ian mengangguk. "Sekalian perayaan perusahaan. Jadi, mungkin bakalan banyak orang yang datang."

Lilly terdiam sebentar lalu mengangguk. "Karena kita udah nikah, panggil aja Lilly. Kalau Amaryllis ... itu kayaknya agak canggung."

"Nyonya Lilly."

Baik Ian maupun Lilly, keduanya sama-sama menoleh ke arah Bibi Parvita yang datang dengan membawa sepiring dessert dengan warna yang cukup mencolok.

Tepat disaat itu, Lilly melirik ke arah Ian. Niatnya, Lilly hanya ingin melirik sebentar saja. Akan tetapi kala melihat senyuman yang amat cerah terpatri di bibir Ian, Lilly malah terpaku. Lilly baru tahu, di wajah yang jarang berekspresi itu, bisa muncul senyuman yang cerah layaknya sinar matahari pagi.

"Bibi--"

"Ini dessert kesukaan Nyonya." Tanpa mempedulikan Ian yang hendak menyapa, Bibi Parvita langsung meletakkan sepiring dessert itu ke hadapan Lilly.

"Bi. Bibi apa kabar?"

Namun lagi-lagi, Bibi Parvita sedikit pun tidak peduli. Bahkan menoleh ke arah Ian saja tidak.

Lilly tersenyum canggung pada Ian. Berada di posisi Lilly saat ini, merupakan hal yang buruk.

"Bibi, Ian panggil Bibi," ujar Lilly.

"Oh? Iyakah? Tapi selain Nyonya, saya tidak melihat ada orang lain lagi di ruang makan ini."

"Bibi serius? Ngabaiin aku begini?" Ian menatap tak percaya pada pengasuhnya yang tak lagi muda itu.

"Bibi."

Hanya dengan panggilan singkat itu saja, Bibi Parvita sudah langsung paham bahwa Lilly tidak ingin Bibi Parvita melakukan hal yang membuat Lilly tidak nyaman.

Amaryllis Cecilie memang terlalu baik untuk lelaki seperti Ian Austin Archandra itu.

"Ya ampun, Nyonya ... mungkin karena sudah tua, saya jadi tidak bisa melihat dengan baik. Kalau begitu, saya pamit undur diri dulu. Silakan dinikmati dessert-nya, Nyonya Lilly."

Ian menjatuhkan rahang. Menatap Bibi Parvita yang terus beranjak tanpa melihat ke arahnya.

Benar-benar ....

"Kayaknya, kamu akrab banget sama Bibi, ya," ceplos Ian. Jika diingat-ingat lagi, sewaktu Ian tiba tadi, Bibi Parvita juga tidak kelihatan. Padahal selama ini, Bibi Parvita selalu menjadi orang pertama yang membentangkan tangan, menyambut kepulangan Ian.

"Tentu saja. Saya berbagi nasib dengan Nyonya selama satu tahun Tuan menghilang dari kehidupan--ah, maksud saya kediaman ini."

"Bi?!" Ian membelalak. Tidak menyangka bahwa Bibi Parvita akan kembali muncul.

"Saya membawakan teh chamomile kesukaan Nyonya," ujar Bibi Parvita seraya menuangkannya ke gelas. Sebenarnya, Bibi Parvita tidak berniat kembali lagi ke ruang makan. Namun, sewaktu mengantarkan dessert, ia melihat gelas Lilly yang masih dipenuhi dengan air putih. Sepertinya kali ini pun, Nyonya Lilly-nya terlalu keras pada diri sendiri. "Silakan dinikmati, Nyonya."

"Iya, terima kasih, Bi."

Karena ada Bibi Parvita yang sedang mengawasi, Lilly dengan segera meneguk tehnya.

"Bi, minta dikit, dong," pinta Ian seraya menyodorkan gelasnya ke hadapan Bibi Parvita.

"Ini khusus untuk Nyonya rumah ini." Bibi menjawab dengan tegas.

"Bibi," tegur Lilly. Sepertinya, Bibi Parvita benar-benar tidak memiliki niat untuk bersikap lunak pada Ian. Ya, setidaknya begitu untuk pagi ini. "Ini, Ian boleh minum punya aku." Lilly menyodorkan teh chamomile miliknya pada Ian.

"Y-ya?" Meski sempat terlihat terkejut, Ian tetap menerima lalu meneguknya dengan cepat.

"Nyonya memang orang yang baik." Bibi Parvita bergumam pelan. "Kalau begitu, saya pamit dulu, Nyonya."

Begitu Bibi Parvita benar-benar pergi dari sana, Lilly kembali memamerkan senyum pada Ian.

"Ian suka?"

"Suka--eh, apanya?"

"Tehnya," jawab Lilly. "Syukur, deh, kalau Ian suka."

Lilly rasa, bahkan jika Ian tidak memiliki perasaan apapun padanya, dengan tetap terus hidup dalam situasi seperti sekarang ini, bukanlah hal yang buruk baginya.

~

Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang