"Ada apa, Lilly? Kenapa terus lihatin makanan punyaku? Do you want this?" Ian menyodorkan piringnya ke hadapan Lilly, menopang pipi dengan tangan, lalu menyibak rambut Lilly ke belakang. "Seingatku, kamu lebih suka sayuran, deh."
Lilly terdiam sebentar. Pergerakan Lilly ikut terhenti, mengingat bahwa sudah beberapa hari ini Lilly ingin mengonsumsi daging.
"Mau aku suapin?"
"Ehm, apa sebaiknya Mommy, Daddy, dan Jefran makan nanti saja?"
Berbeda dengan Lilly yang langsung gelagapan, Ian terlihat jauh lebih tenang.
Sebenarnya, semenjak makan malam dimulai, Daddy dan Mommy terus memperhatikan interaksi Ian dan Lilly. Sementara Jefran, terus menikmati makan malamnya. Well, meski sesekali Jefran melirik ke arah anggota keluarga barunya.
Berbeda dengan Mommy yang kelihatan puas karena memiliki menantu seperti Ian, Daddy malah terlihat sebaliknya. Mommy memang tidak sepenuhnya salah, akan tetapi, Daddy tetap merasa sayang karena masa kecil Lilly telah berlalu tanpa sempat dinikmati.
Jika saja suami Lilly bukan seseorang seperti Ian, mungkin Daddy sudah berinisiatif untuk memisahkan Lilly dengan suaminya. "Pikiran jahat macam apa ini?" Daddy membatin.
"Lusa saya dan Lilly akan kembali pulang ke rumah," celetuk Ian. Meski menyadari dengan jelas raut wajah kekecewaan dari Daddy, Ian berpura-pura tidak peka. Sebab sesuai permintaan Lilly, mereka hanya akan menginap selama tiga hari di sana. "Daddy sama Mommy kalau mau menginap di sana, boleh banget, kok," ujar Ian. "Ah, Jefran juga." Ian menoleh menatap Jefran yang duduk di sebelah Mommy. "Kamu boleh datang kapanpun yang kamu mau."
Senyuman lebar langsung terpatri di bibir Jefran. "Beneran 'kan, Kak?" Bahkan, nada suaranya pun terdengar begitu antusias.
Ian mengangguk mengiyakannya.
"Tapi, kita 'kan belum dengar pendapat Lilly langsung," kata Daddy.
Lilly yang baru saja menyuap makanan ke mulutnya langsung menoleh menatap Daddy.
"Jangan terburu-buru. Kunyah dulu makannya dengan baik, Lil," ujar Mommy.
Menuruti apa kata Mommy, Lilly mengunyah makanannya dengan perlahan. Setelah meneguk air putih, barulah Lilly menjawab, "Saya ingin kembali ke rumah."
"Tapi ini juga 'kan rumah kamu."
Lilly terdiam sebentar. Well, itu tidak salah. Tapi bagi Lilly, rumah daddy-nya lebih terasa seperti tempat singgah saja.
"Saya akan berkunjung ke sini sesekali," kata Lilly. "Lagi pula, Mommy juga akan tinggal di sini."
"Kapan Mommy bilang begitu?" Mommy menautkan alis menatap Lilly. "Pekerjaan Mommy sudah sangat menumpuk di Aarhus. Dan Rosa sendirian mengurus semua pekerjaan Mommy yang belum terselesaikan. Jadi--"
"Kamu, tuh, ya." Daddy berdecak. Alih-alih menepuk Mommy, Daddy hanya memukul sendok yang dipegang Mommy dengan sendoknya. "Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau Rosalina itu dapat diandalkan? Kenapa sekarang malah nyakitin perasaan putriku sama perkataan kamu yang bikin sakit hati itu?"
Lilly terperangah. Sungguh, selama 24 tahun Lilly hidup, baru kali ini ada orang yang berani menegur Mommy secara terang-terangan. Apalagi, dengan menyalahi tata krama begitu.
"Kamu jangan khawatir. Daddy usahain supaya Mommy kamu tetap di sini. Seenggaknya, sampai kamu melahirkan nanti. Jadi, lakuin aja apapun yang kamu mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)
RomanceMelarikan diri dari rumah, itu adalah satu-satunya tujuan Lilly untuk tetap bertahan hidup. Akan tetapi demi ketenangan hidupnya, Lilly harus pergi dengan izin dari mommy-nya. Dan syarat yang harus dipenuhi Lilly adalah menikah. Dengan pria pilihan...