Mulai dari pakaian yang berserakan, barang yang berjatuhan, hingga ke seprai yang tak lagi suci, telah lenyap dari pandangan Lilly. Hanya dalam waktu beberapa menit, kamar yang tadinya persis seperti kandang kuda, kini disulap layaknya kamar seorang ratu.
"Ah, itu tadi ... selama kamu mandi, aku minta Bibi Parvita sama Ella buat beresin kamar kamu," celetuk Ian seakan mengetahui isi pikiran Lilly. "What do you think? As your husband, I'm--"
"Turunin aku, Ian," interupsi Lilly. Sungguh, Lilly sangat penasaran akan sistem kerja sel-sel yang ada di pikiran Ian.
Karena kondisi tubuh yang benar-benar tidak memungkinkan, Lilly dengan berat hati menyetujui tawaran Ian yang ingin membantunya mandi. Dan Lilly tahu betul, bahwa Ian berusaha begitu keras untuk tidak lepas kendali seperti semalam. Meskipun begitu, waktu mandi yang harusnya selesai dalam 10 menit, malah menjadi 30 menit.
"Aku tau ... intinya, kamu capek, 'kan?"
Lagi, Ian hanya mengeluarkan kalimat apapun yang terlintas dalam pikirannya. Dan lagi-lagi, segala kalimat yang terlontar itu adalah fakta.
"Turunin aku. Aku mau sara--aku mau makan. Aku lapar."
"Untuk aku yang udah berbaik hati bantuin kamu mandi, apa ga ada imbalan apapun?" Ian menatap Lilly dengan sorot tatapan yang menyiratkan rasa kecewa. "Ya, mau gimana lagi? Kamu jadi lemah begini juga gara-gara aku." Ian menurunkan Lilly dari gendongannya, mendudukkan Lilly ke kursi, lalu mengecup sekilas dahi Lilly. "Aku ambil baju kamu dulu. Kalau handukan begini, nanti bakalan masuk angin."
Lilly hanya sekadar mengangguk. Meski tidak sesakit saat bangun tadi, tetap saja tenaga Lilly belum pulih sepenuhnya. Pahanya masih terasa sakit, punggungnya pun sama. Tidak hanya di bagian itu, bahkan di beberapa bagian tubuh lainnya pun masih terasa nyeri.
"Lilly, kamu mau pake baju yang gimana?'
Tanpa menoleh, Lilly menjawab, "Apapun. Yang gampang dipake."
Tiap kali teringat kejadian semalam, Lilly masih merasa bahwa kejadian itu persis seperti mimpi. Dan Lilly, sama sekali tidak menyangka bahwa kehidupan pernikahannya berubah drastis dalam waktu semalam.
Padahal, baru semalam Lilly memohon--mengemis perhatian seperti orang bodoh dengan cara yang menyedihkan pada Ian. Tapi siang ini, tepat sewaktu Lilly bangun dari tidurnya, Lilly malah bersikap sembarangan pada Ian. Itu sangat tidak sesuai dengan etiket yang selama ini diajarkan oleh Madam Tessa. Yah, apapun itu ... yang penting kemungkinan Lilly akan diusir dari kediaman Archandra jadi berkurang, mungkin.
"Kalau mau yang gampang, bukannya lebih baik ga usah dipake aja?"
Karena itulah ... karena itulah Lilly bersikap sembarangan pada Ian Austin Archandra.
"Ian keluar aja. Biar Ella yang--"
"Lilly, kamu harus bisa manfaatin suami kamu ini."
Tubuh Lilly menegang. Itu bukan karena Lilly terkejut pada Ian yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya.
Cara Ian membisikkan kalimat itu, dan sentuhan Ian yang mendarat di pundak Lilly, itu membuat Lilly langsung teringat pada Madam Tessa yang kerap kali melakukan hal serupa.
Sementara itu, menyadari respons yang tak biasa dari sang istri, Ian langsung berpindah posisi. "Aku ga tau ... tapi aku rasa, aku udah buat kesalahan. Maaf," ucap Ian penuh sesal.
Sebenarnya, bayang-bayang kejadian semalam terus menghantui pikiran Ian.
Tubuh Lilly yang jatuh tersungkur, membuat telapak tangan dan lutut Lilly terluka. Bahkan, gaun tidur yang dikenakan Lilly pun sedikit robek, akibat gesekan yang terjadi saat Lilly terjatuh. Ditambah lagi, Lilly memohon dengan berderai air mata. Tidak berakhir di situ, bahkan setelah Ian menggendong Lilly--membawa Lilly kembali ke kamarnya, Lilly masih saja memohon. Seakan-akan, jika Ian tidak mengabulkan keinginan Lilly, kehidupan Lilly akan berakhir saat itu juga.
Selain itu, yang paling mengganggu pikiran Ian saat ini adalah memar yang nyaris memenuhi bagian punggung Lilly. Lebih dari apapun, Ian sangat ingin bertanya pada Lilly, mahakarya yang telah berhasil dimiliki hanya dalam waktu semalam saja. Ian ingin bertanya, manusia hina macam apa yang telah berbuat seperti itu pada Amaryllis Cecilie, mahakarya yang membuat seorang Ian Austin Archandra terpikat hanya dengan sekali pertemuan saja.
"Lilly ...." Ian berlutut di hadapan Lilly, menggenggam tangan Lilly yang masih sedikit basah, lalu menjatuhkan kepalanya ke pangkuan Lilly. "Hari ini aku diomelin habis-habisan sama Bibi Parvita. Semua pelayan yang ada di kediaman Archandra juga terus gosipin aku. Matthew yang selama ini setia, juga terus-terusan nyindir aku. Aku merasa, kediaman ini suatu saat bakalan jadi milik kamu," ujarnya.
Mendengar keluhan Ian yang begitu kekananan, Lilly tersenyum. Sewaktu Ian tiba-tiba mengucapkan kata maaf tadi pun, meski tidak begitu tahu akan alasannya, Lilly merasa begitu lega. Ditambah lagi, Ian yang saat ini bersikap manja padanya, entah mengapa membuat Lilly jadi tambah lega, sekaligus nyaman. Tangan Lilly bergerak mengusap rambut kecokelatan yang sempat dijambaknya tadi.
"Lilly, kalau mau jinakin aku, bukan begini caranya." Ian menahan tangan Lilly yang tengah mengusap rambutnya. "Sayang banget kamu belum makan. Kalau udah, pasti bakalan langsung aku kasih tau." Ian tersenyum.
Bagi Lilly, senyuman Ian terlihat sarat akan rencana-rencana licik. Yang pasti, itu sama sekali tidak membuat Lilly merasa penasaran.
"Aku juga minta maaf, karena ga bisa bantuin kamu pake baju. Kamu tau 'kan ... aku takut bakalan dilabeli sebagai binatang buas yang ga perhatian sama kondisi istri sendiri," ujar Ian, lalu menaruh pakaian yang telah dipilihkan ke meja yang ada di sebelah Lilly. "Selagi kamu pake baju, aku bakalan ambilin makanan untuk kamu." Ian merunduk, mengusap pipi Lilly, menarik dagu Lilly, dan mempertipis jarak di antara mereka. "Sebagai ganti hari ini, tiga hari lagi, aku rela kamu apa-apain." Pada akhirnya, Ian mendaratkan ciuman di bibir Lilly. "Itu pun kalau aku bisa tahan sampe hari itu."
•••
"Tuan Ian yakin tidak butuh bantuan kami?"
Sekali lagi, Ian melirik ke arah Bibi Parvita dan beberapa pelayan yang ada di belakang Bibi Parvita. Ia menghela napasnya, berdecak pelan, lalu kembali menegaskan bahwa dirinya cukup mampu untuk membawakan nampan yang di atasnya telah diletakkan makanan, dan juga minuman untuk Lilly.
Pada akhirnya, Bibi Parvita menyuruh para pelayan itu untuk kembali mengerjakan pekerjaan masing-masing. Sementara Bibi Parvita, terus menempel pada Ian, menatap sosok yang telah diasuhnya itu dengan tatapan sangsi.
"Tuan yakin Nyonya kami baik-baik saja? Nyonya kami masih bernapas dengan baik, 'kan?"
Bukan tanpa alasan Bibi Parvita bertanya begitu. Semenjak matahari terbit, hingga saat ini, Ian sama sekali tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam kamar Lilly. Well, Ian sempat mengizinkannya, sih. Tapi itu hanya untuk membereskan kekacauan yang diyakini Bibi Parvita bahwa Ian-lah pelakunya.
"Karena semalam Bibi nguping, harusnya Bibi tau kalau hari ini Lilly butuh istirahat penuh." Ian terus berjalan.
Padahal, itu adalah kediaman Archandra miliknya. Dan para pelayan di sana, adalah bawahannya. Tapi, entah mengapa tatapan-tatapan yang seakan mengumpat tanpa kata-kata itu tersampai dengan baik hingga menusuk perasaannya.
"Itu karena sikap Tuan sendiri. Kalau memang suka, kenapa harus pergi selama satu tahun ini? Apa Tuan tidak tahu betapa sedihnya saya saat melihat Nyonya yang hanya bisa men--" Bibi Parvita tiba-tiba terdiam.
Refleks, Ian langsung menoleh pada Bibi Parvita. "Men apa? Lilly kenapa?"
Alih-alih kembali melanjutkan ucapannya, Bibi Parvita malah langsung berpamitan dan menghilang dari pandangan Ian dengan cepat.
Ian mengernyit. Sepertinya, Lilly menyimpan lebih banyak rahasia dari apa yang dipikirkan.
~
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)
RomanceMelarikan diri dari rumah, itu adalah satu-satunya tujuan Lilly untuk tetap bertahan hidup. Akan tetapi demi ketenangan hidupnya, Lilly harus pergi dengan izin dari mommy-nya. Dan syarat yang harus dipenuhi Lilly adalah menikah. Dengan pria pilihan...