Di depan pintu, Lilly mematung sewaktu melihat keberadaan seseorang yang sekali pun tidak pernah ingin dihadapi langsung oleh Lilly.
Dalam sepersekian detik itu, Lilly menyesali keputusannya yang memilih pergi dengan Ian, bukannya Ella.
Dari luar, Lilly memperhatikan nenek dan mamanya Ian yang tampak ceria. Persis seperti malam itu, sewaktu Almira Claire, ada bersama mereka.
Pada waktu itu juga Lilly langsung tersadar, bahwa tiap kontak fisik yang dilakukannya dengan Ian selama ini hanyalah sebatas kebutuhan dan kewajiban saja. Yang mana Ian menjadi pihak yang membutuhkan, dan Lilly menjadi pihak yang wajib memenuhi kebutuhan tersebut. Lilly lupa. Bahwa Ian, seseorang yang mendekati kata sempurna itu, tidak mungkin memiliki perasaan seperti cinta untuknya.
"Shall we go?"
Lilly terkesiap. Tidak hanya karena suara Ian yang tiba-tiba memecah lamunannya, tetapi juga karena Ian yang mendaratkan kecupan di pipinya.
Refleks, Lilly langsung mundur--menjaga jarak dengan Ian.
Semenjak mengetahui keberadaan Almira Claire, Lilly sebisa mungkin untuk tidak mengusiknya. Bahkan malam itu, andaikan tidak ada yang mengganggu Lilly, Lilly berniat untuk kembali ke ruang istirahat. Tetapi, jika Ian dengan terang-terangan bermesraan di hadapan Almira Claire, Lilly takut kehidupan yang selama ini dijalaninya dalam diam akan segera berakhir.
"Lilly?" Ian mendekati Lilly kembali. Meski tidak begitu tahu, tapi Ian rasa, keberadaan Mira-lah, penyebab Lilly menghindar. Ian kira, permasalahan soal Mira sudah terselesaikan malam itu juga. Malam yang mana Ian memberitahukan bahwa tidak ada hubungan khusus apapun antara ia dengan Mira. Terlebih, setelah malam itu, Lilly sama sekali tidak pernah membahas soal Mira. "Lilly, aku lupa ambil sesuatu. Mau masuk duluan atau ikut ke mobil? Tapi aku ga bakalan lama."
"Aku ikut Ian." Dengan langkah kecilnya, Lilly menarik Ian, membawa Ian pergi dari depan pintu masuk.
Ian menyeringai. Tak disangka, rencananya itu berjalan dengan mulus. Padahal biasanya, bukan hal yang mudah jika ingin mengelabui Lilly.
"Lilly."
"Ya?"
"Kamu siluman kura-kura, ya? Jalannya lambat banget. Pantesan kalah pas lomba sama kelinci."
Lilly berhenti. Sekarang, posisi mereka sudah berpindah ke garasi.
Melihat seringaian Ian yang sangat tidak berperikemanusiaan itu, rasa-rasanya Lilly ingin melempar bingkisan kado yang dipegangnya ke wajah Ian. Tetapi, Lilly cukup mengetahui. Bahwa bingkisan kado untuk Nenek jauh lebih berharga.
Pada akhirnya, Lilly kembali berjalan, membiarkan Ian dengan segala omong kosongnya, dan membuka pintu mobil tepat setelah Lilly berdiri di sebelah mobil yang dinaikinya tadi.
"Apa yang mau Ian cari?"
"Coba bantu buka dashboard-nya. Nanti kalau ketemu amplop warna cokelat, langsung ambil aja."
Tepat setelah Lilly masuk ke dalam mobil dan membuka dashboard, Ian tiba-tiba menutup pintu mobil, tersenyum pada Lilly yang tampaknya sudah benar-benar lelah menghadapi Ian. Setelahnya, bukannya menunggu, Ian malah ikut masuk dan dengan tengilnya, Ian menyentil dahi Lilly.
"Ayo marahin aku."
"Crazy!" Setelah menyiksa Lilly secara batin, kini Ian mulai menyiksa secara fisik. Terlebih, Ian menyiksanya di rumah mertua Lilly. "Hari ini Ian lebih gila dari biasanya."
"Kalau kamu mau, aku bisa jauh lebih gila dari ini, Lilly," ucap Ian, sembari ikut memeriksa dashboard yang dipenuhi dengan lembaran kertas yang isinya entah apa saja. "Sayangnya, kamu pasti ga mau, 'kan?" Ian beralih menatap Lilly, tangan Lilly yang tengah menyentuh dashboard, dipegang erat oleh Ian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)
RomanceMelarikan diri dari rumah, itu adalah satu-satunya tujuan Lilly untuk tetap bertahan hidup. Akan tetapi demi ketenangan hidupnya, Lilly harus pergi dengan izin dari mommy-nya. Dan syarat yang harus dipenuhi Lilly adalah menikah. Dengan pria pilihan...