"Sejauh yang saya lihat, tidak ada yang mencurigakan dengan hubungan Nyonya Lilly dan Madam Tessa. Seperti yang Tuan perintahkan, saya menyarankan agar Nyonya menghabiskan waktu di taman. Dari awal Madam Tessa tiba, saya terus berada di samping Nyonya."
"Kamu dengar apa yang mereka bicarakan?"
"Madam Tessa menanyakan kabar Nyonya. Membahas soal cuaca, dan membahas hal-hal kecil lainnya. Tentang obrolan di taman, saya tidak bisa mendengarnya. Karena Nyonya meminta saya untuk pergi. Tapi sepertinya, tidak ada yang aneh. Madam Tessa juga memperlakukan Nyonya dengan hormat."
Ian mengangguk usai mendengar penjelasan dari Ella. Well, setelah kemunculan Madam Tessa, Lilly memang sama seperti biasanya. Tidak ada yang benar-benar berubah. Saat Mommy dan Madam Tessa hendak pergi pun, Lilly terlihat sangat akrab dengan Madam Tessa. Namun, entah karena apa Ian terus merasa gusar.
"Apa kekhawatiran Tuan tidak berlebihan? Kalau dipikir-pikir lagi, bukankah posisi Madam Tessa sama saja dengan Madam Parvita?" Matthew, yang memang ada di sana ikut memberi masukan. "Nyonya juga sepertinya baik-baik saja."
Meski tidak menyuarakan isi hatinya, kali ini Ella sependapat dengan Matthew. Dari apa yang dilihat Ella sore tadi, Madam Tessa berperan layaknya seorang Ibu. Bahkan, Madam Tessa mengubah panggilan Nona menjadi Nyonya--seakan menyesuaikan status Lilly.
"Kamu juga mikir begitu?" Ian bertanya pada Ella.
Ella mengangguk. "Ya, Tuan."
"Kalian boleh keluar."
Ian terduduk dengan lesu usai Matthew dan Ella keluar dari kamarnya. Bagi Ian, semua hal yang terjadi terasa begitu janggal. Dan respons yang diperlihatkan Lilly membuat Ian merasa bahwa ia baru saja kembali ke titik awal. Kemungkinan yang ada saat ini, pelakunya antara Mommy dan Madam Tessa. Tetapi, setelah Ian memancing Mommy, sepertinya sudah jelas bahwa Mommy tidak mungkin menyiksa putri kesayangannya sendiri. Dan Madam Tessa ....
"Lilly?" Ian spontan berdiri begitu melihat kedatangan Lilly. "Ini udah larut banget. kenapa bangun?"
Tanpa menjawab apapun, Lilly langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur Ian. Sebenarnya, ini pertama kalinya Lilly tidur di kamar Ian. Selama sebulan ini, hanya Ian yang terus-terusan menerobos masuk ke kamarnya.
"Kamu pasti takut tidur sendirian, 'kan?" Dengan senyuman tengil yang terpatri di bibirnya, Ian ikut berbaring. Tubuhnya ia hadapkan ke hadapan Lilly. Sembari menusuk pipi Lilly dengan jarinya, Ian kembali berujar, "Dasar penakut."
"Ian kalau aku jambak marah ga?"
Ian tertawa. "Silakan aja. Kemaren aku udah ditampar Mama Mertua. Kalau siksaan dari kamu, bukannya udah sering aku terima dengan senang hati?"
Saking kesalnya, Lilly langsung bangun. Tak tanggung, Lilly juga menyempatkan diri untuk memukul dada bidang Ian.
"Lilly, ini pelecahan!" Ian memekik seraya menutupi dadanya dengan tangan. Ia bahkan beringsut menjauh dari Lilly yang menatapnya dengan tajam. "Lilly, kamu ganas banget. Jangan makan aku, please ...."
"Crazy!" Sepertinya, benar-benar ada yang salah dengan sistem kerja otak Ian. Entah mengapa, Lilly jadi merasa sedikit prihatin.
Kendati demikian, Lilly merasa kegundahan hatinya mereda secara perlahan. Pikiran Lilly yang bagaikan dijerat oleh benang kusut seakan terurai. Lilly tidak menyangka, Ian memiliki kekuatan yang sebesar itu dalam mempengaruhi suasana hatinya.
"Kamu mikirin apa lagi?" Ian ikut duduk, tangannya bergerak menyibak gaun tidur yang dikenakan Lilly.
"Ian, ini pelecehan!" Lilly berteriak sembari mendorong tubuh Ian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)
RomanceMelarikan diri dari rumah, itu adalah satu-satunya tujuan Lilly untuk tetap bertahan hidup. Akan tetapi demi ketenangan hidupnya, Lilly harus pergi dengan izin dari mommy-nya. Dan syarat yang harus dipenuhi Lilly adalah menikah. Dengan pria pilihan...