Selama beberapa bulan belakangan ini, Lilly telah menahan segala emosi yang mengendap--seakan mengotori hatinya. Setelah beberapa bulan menikah, berita Ian yang selalu dikaitkan dengan perempuan lain takpernah luput dari pembicaraan orang-orang.
Sebenarnya, sebelum mendengar pengakuan dari Ian langsung, Lilly tidak ingin terlalu memikirkan berita yang bahkan Bibi Parvita sekalipun--sebagai orang terdekat Ian merasa sangsi akan berita tersebut.
Namun, setelah menghadiri acara pesta ulang tahun neneknya Ian, tekad Lilly mulai goyah. Bahkan, Lilly ikut terpengaruh dengan kabar yang masih simpang-siur itu. Terlebih lagi, saat nama Ian terus dielu-elukan, sementara namanya terus dijuluki sebagai pengganggu, Lilly seketika menyadari bahwa keberadaannya persis seperti parasit.
Sejujurnya, sewaktu mendengar ucapan tamu lain dari bilik toilet, ingin rasanya Lilly melayangkan--mencabik-cabik mulut yang dengan mudahnya membicarakan suaminya. Akan tetapi, demi menjaga reputasi Ian, Lilly tidak ingin bersikap sembarangan. Namun siapa sangka, amarah Lilly kembali dipancing oleh lelaki yang baru pertama kali dilihat oleh Lilly.
"Tolong maafin aku ... maaf karena aku udah bikin kacau di pesta nenek Ian. Maaf karena aku ga bisa jadi istri yang Ian inginkan ...."
Lilly menggenggam erat tangan Ian. Alih-alih menatap langsung pada Ian, Lilly hanya terus menunduk. Setelah sekian lama, harapan kecil itu kembali menyusup ke dalam hatinya yang telah membeku.
"Aku mohon, tolong jangan buang aku ...."
"Lilly."
Perlahan, Lilly mendongak, menatap Ian yang menatapnya dengan teduh.
Itu berarti ... Ian setidaknya memiliki rasa belas kasihan untuknya, 'kan?
"Lutut sama telapak tangan kamu luka. Aku obatin ini dulu, habis itu kita ngobrol lagi, ya? Atau, aku bakalan dengerin kamu sambil obatin luka ini."
Lilly menggeleng dengan cepat. "I'm okay, Ian. Trust me!" seru Lilly. Dengan buru-buru, Lilly menyeka air mata yang terlanjur membasahi pipinya.
Mungkin, sekarang saat yang tepat bagi Lilly untuk mempraktekkan cara yang sempat diberitahukan oleh Madam Tessa.
Lilly menurunkan ritsleting gaun tidur yang dikenakan. Lalu, ia melepas gaun tidur itu mulai dari tubuh bagian atas.
Meski merasa bahwa saat ini Lilly tidak lebih dari seorang yang hina, Lilly tetap melakukannya. Mungkin, dengan memamerkan tubuh, Ian bisa menjadi miliknya.
"Lilly, kamu ngapain?" Ian menahan pergerakan Lilly yang hendak menanggalkan gaun tidur tersebut.
"Aku cuma mau nuntasin kewajibanku sebagai istri Ian."
"Jangan mengada-ngada. Kamu sakit, Lilly."
"Aku ga sakit!" tegas Lilly. "Kalau bukan malam ini, aku merasa Ian bakalan pergi."
Lilly benar-benar tidak peduli bagaimana Ian akan menatapnya setelah ini. Karena itu pula, Lilly akan mempertaruhkan segala hal yang tersisa pada diri Lilly.
Akan tetapi, Ian tiba-tiba saja bangun dari duduknya.
Lilly menatap Ian dengan sorot tatapan yang sarat akan rasa putus asa. Meski Ian berdiri di hadapannya, Lilly merasa bahwa ia tidak akan pernah mampu menggapai Ian. Lilly merasa bahwa tidak ada satu pun bagian dari tubuh Ian yang dapat dijangkau olehnya.
Sebagai upaya yang paling akhir, Lilly ikut menjauh dari kasur. Namun bukannya ikut berdiri, Lilly malah berlutut.
"Saya akan melakukan apa saja. Jadi tolong, jangan buang saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)
RomanceMelarikan diri dari rumah, itu adalah satu-satunya tujuan Lilly untuk tetap bertahan hidup. Akan tetapi demi ketenangan hidupnya, Lilly harus pergi dengan izin dari mommy-nya. Dan syarat yang harus dipenuhi Lilly adalah menikah. Dengan pria pilihan...