Selama ini, Lilly selalu percaya bahwa apa yang dilakukan oleh Madam Tessa merupakan pelajaran untuk Lilly yang telah bersikap lancang, dan menjadi anak nakal yang tidak menurut pada orang tua. Ya, selama lima belas tahun Lilly hidup, Lilly terus percaya dengan ucapan Madam Tessa yang mengatakan bahwa semua pukulan yang diterima Lilly merupakan pelajaran terbaik untuk masa depan Lilly.
Namun pada tahun ini, tepat di usia Lilly yang keenam belas, Lilly menyadari bahwa semua itu merupakan bentuk dari penganiayaan.
"Lil. What's wrong?"
Lilly terperanjat.
"Apa kamu ingin membuang-buang waktu Mommy lagi? Madam Tessa bilang, belakangan ini kamu sering berulah. Kamu juga sering mencari perhatian dengan berbohong. Kamu tahu? Yang seperti itu disebut dengan penyakit. Berhenti mencari perhatian orang lain dengan cara yang seperti itu. I'm sure you know what I'm talking about. Got it, Lil?"
Lilly tersenyum masam. Apa yang diharapkan Lilly dari Mommy? Kasih sayang? Kepercayaan? Mengapa Lilly bisa lupa bahwa Mommy bukanlah sosok yang akan dengan mudahnya memberikan kedua hal itu? Terlebih lagi, pada anak yang tidak diharapkan seperti Lilly, mungkin.
"I know, Mom."
"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan pagi-pagi begini? Sebentar lagi Mommy harus berangkat. Mungkin malam nanti baru pulang."
"Tidak ada. I just wanna see you, Mom. I mean ... before you go to work."
Setelah mengatakan itu, Lilly langsung bergegas keluar dari kamar Mommy.
"I wanna disappear to a place no one knows about me." Lilly membatin.
"Lil!"
Lilly berbalik, melihat Mommy yang entah kapan ada di belakangnya. "Yes, Mom?"
"Minggu depan anaknya Madam Tessa akan datang ke sini. Dia seumuran sama kamu. Menurut Mommy, dia bisa jadi teman bicara kamu."
Lilly mengangguk. Mengenai hal itu, Mommy memang pernah membahasnya sekali. Saat makan malam pada akhir bulan lalu.
Lilly menoleh ke sekeliling. Sepertinya, Madam Tessa masih belum bangun. Well, ini memang masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Bahkan di luar pun, masih gelap.
"Mom, it's so bad."
"What do yo mean?"
"The weather. I think it's so bad. And I don't like it."
Akhirnya, Lilly kembali ke kamarnya. Soal cuaca, Lilly memang tidak suka cuaca di Aarhus. Kota yang telah ditinggalinya selama belasan tahun ini.
Lilly melirik ke arah jendela sebentar. Berapa kali pun harus dipikirkan, Lilly merasa bahwa Aarhus tidak cocok dengannya. Tubuh Lilly rentan dengan penyakit saat musim dingin tiba.
Dari apa yang Lilly dengar, Indonesia hanya memiliki dua musim. Sejak kecil, Lilly sangat ingin mengunjungi negara Emerald of the Equator itu. Musim panas di sana, mungkin akan cocok dengan Lilly. Selain itu ... sebentar--
"If I moved, I'd be okay, isn't it?"
Ya. Lilly yakin bahwa semuanya akan membaik jika Lilly pindah ke negara asalnya. Ke tempat apapun itu, asalkan tidak ada Madam Tessa, Lilly yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja. Tapi, bagaimana caranya? Mommy pasti tidak akan mengizinkan Lilly pergi sendirian ke negara yang bahkan tidak ada dalam ingatan Lilly.
Tidak. Lilly tidak boleh putus asa. Setidaknya, Lilly harus berusaha dulu.
Pada akhirnya, Lilly kembali keluar dari kamar. Berlari ke arah kamar Mommy. Lalu masuk tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)
RomanceMelarikan diri dari rumah, itu adalah satu-satunya tujuan Lilly untuk tetap bertahan hidup. Akan tetapi demi ketenangan hidupnya, Lilly harus pergi dengan izin dari mommy-nya. Dan syarat yang harus dipenuhi Lilly adalah menikah. Dengan pria pilihan...