35. Interaksi Canggung Antara Jefran dan Lilly

1K 60 0
                                    

Ian menarik selimut yang menutupi wajah Lilly, menurunkan selimut itu hingga ke bagian perut. Sembari mengusap sudut bibir Lilly, ia bertanya, "Kamu yakin ga mau keluar?"

Lilly mengangguk pelan.

"Itu kejadian tadi siang. Dan sekarang udah malam. Tadi pas Mama sama Nenek datang, langsung kamu izinin masuk. Pas Mommy juga kamu izinin. Tapi Daddy, sebagai pemilik rumah ini malah ga kamu izinin sama sekali," ujar Ian.

"At least, I met his son. I met Jefran." Lilly menjawab dengan dingin. Sebenarnya, bukan karena Ian yang terus berusaha menariknya keluar dari kandang yang bernama selimut. Melainkan, Lilly merasa sangat frustrasi akan kesalahan yang telah dilakukannya. "Anak macam apa, yang mendorong daddy-nya dengan kasar begitu? Darn it."

"Hei. Kenapa ngomong kasar lagi?" Ian menyentil dahi Lilly. Ini sudah yang kesekian kalinya Lilly melontarkan umpatan untuk dirinya sendiri. "Aku 'kan udah bilang, Daddy ga akan marah cuma karena kamu yang langsung lari ke aku," kata Ian. "Kalau kamu begini terus, biar aku aja yang bilang ke Daddy alasan kamu ga izinin Daddy masuk ke sini."

Dengan cepat, Lilly menahan tangan Ian. Lilly bahkan langsung bangun dari tidurnya. "No. Besok, aku bakalan ketemu Daddy besok. Jadi sekarang kita tidur aja, ya?" Lilly memelas, menatap Ian dengan penuh harap.

Karena Lilly yang tiba-tiba muntah, rencana Lilly untuk langsung pulang pun berubah. Lilly memutuskan untuk menginap di rumah Daddy, selain merasa bersalah karena telah mendorong Daddy yang tampak mengkhawatirkannya, Lilly juga setidaknya ingin mencoba menjalin hubungan baik dengan Daddy.

Ian melepas tangan Lilly yang memegangnya, melepas kemeja yang dikenakan, menaruhnya di kursi meja rias, lalu berbaring di sebelah Lilly.

"Ian kenapa ga pake baju?" Lilly menautkan alis menatap Ian.

Ian tersenyum tipis, meraih tangan Lilly, dan menggenggamnya. "Di sini panas." Ian mengecup punggung tangan Lilly, kemudian memberi isyarat pada Lilly untuk berbaring di sebelahnya.

"'Kan bisa diturunin lagi suhu AC-nya," ujar Lilly lalu ikut berbaring.

"Kamu 'kan ga tahan dingin. Jadi cukup segini aja, dan aku juga nyaman kayak gini."

"Tapi 'kan kita lagi di rumah Daddy."

Ian menarik Lilly ke dalam dekapannya. "Memangnya kenapa? 'Kan ga ada yang sembarangan masuk ke kamar ini," ucap Ian. "Tadi aku ngobrol banyak sama Jefran. Dia anak yang baik, ya."

Well, meski kurang beretiket, Jefran memang anak yang cukup sopan. Jefran juga pandai menilai suasana. Di depan Lilly, Jefran sama sekali tidak mendekat--atau bahkan memanggil Mommy dengan sebutan mommy.

"Besok aku harus masuk kerja. Apa kamu gapapa di sini? Kalau kamu mau, aku bisa antarin kamu ke rumah kita besok, sebelum aku berangkat kerja."

Lilly terdiam sebentar. "Aku di sini aja. Em, kita nginap di sini tiga hari aja," sahutnya. "Ian." Lilly menjauh dari dekapan Ian. Melirik Ian sebentar lalu mengusap perutnya.

Melihat itu, Ian berniat untuk bangun. Namun Lilly menahannya.

"Ada apa, Lilly? Sakit? Atau kamu ga nyaman sama sesuatu?"

Lilly menghembus napas pelan. "Ga tau. Kayak ... ada sesuatu, tapi aku ga tau," jawabnya.

"Iyakah?" Ian menaikkan selimut yang sempat diturunkan, menaikkannya kembali hingga menutupi leher Lilly. Lalu, Ian menelusupkan tangannya ke dalam baju Lilly, mengusap perut Lilly dengan pelan.

"Tetap usap sampai aku tidur ya, Ian." Padahal hanya sekadar usapan saja, tapi perasaan tidak nyaman tadi berangsur membaik.

•••

Lilly; Her Past, Her Life, and Her Lover (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang