Bab 02

502 55 163
                                    

Sepuluh tahun yang lalu.

Bocah berpipi chubby yang saat itu berusia tujuh tahun terduduk di perkarangan rumah. Gaun princessnya telah kotor terkena genangan air akibat hujan yang turun pagi tadi. Bocah mungil itu mendongakkan kepalanya, sengaja memperlihatkan pada semua orang bahwa dirinya sedang menangis. Bibirnya bergetar dan air mata sudah membasahi pipinya. Wajahnya pun memerah, sepertinya ia sudah lama menangis.

"Nenek!!"

"Bunda!!"

"Papa!!"

Sasya terus memanggil sampai ada yang menghampirinya tanpa merubah pose duduknya. Seluruh penghuni rumah tersebut keluar---panik. Terlebih lagi Nenek Ulanni yang sering Sasya panggil dengan sebutan Nenek Ula itu melihat kondisi cucu kesayangannya sedang terisak di tanah.

Ada tiga bocah laki-laki yang berdiri melingkari Sasya. Masing-masing dari mereka ditarik orang tuanya untuk dimarahi. Kecuali Agam, orang tuanya tidak ada di rumah Nenek Ula.

Di hari-hari tertentu, seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah Nenek Ula. Namun, kedua orang tua Agam enggan datang. Hubungan mereka memang kurang baik. Karena itu, orang tua Agam menyuruh Agam yang datang mewakili mereka.

"Nenek!!" Sasya makin sesenggukan.

"Cucu Nenek kenapa?" Nenek Ula berjongkok dan menghapus air mata Sasya.

"Nggak apa-apa, Ma. Sasya emang anaknya cengeng." Dania tidak enak pada mertua dan iparnya yang lain sebab puterinya yang sering mencari perhatian.

"Siapa yang jahat? Bilang sama Nenek," ujar halus Nenek Ula.

"Mereka jahat!!!" tuduh Sasya menunjuk ketiga sepupunya.

"Tadi, kami lagi main polisi-pencuri. Sasyanya marah karena kami nggak ajak," protes Adnan yang saat itu berusia delapan tahun.

Sasya kecil memperkencang tangisannya. Seolah-olah hal yang menimpanya lebih dari itu.

"Nggak mungkin cuman kayak gitu aja, Sasya bisa nangisnya kayak gini," ujar Rukma---menjewer telinga Adnan sembari membawa masuk puteranya ke dalam rumah untuk dimarahi.

"Sasya nggak jatuh, Buuu... Sasya tiba-tiba duduk disitu pas kami lagi main kejar-kejaran," ucap Kaivan meyakinkan Yumi---ibunya yang terkenal paling tegas dan kejam dari iparnya yang lain.

Yumi menatap sadis anak laki-lakinya yang berumur delapan tahun itu. Kaivan berkedip cepat. Hal yang paling ditakuti Kaivan di dunia ini adalah Ibunya.

"Besok-besok bikin Sasya nangis lagi ya," titah lembut Yumi dengan arti keterbalikkan sambil tangannya mencubit pinggang Kaivan.

"Masuk!" suruh Yumi.

Kaivan melangkah pelan disusul Yumi. Setelah itu, barulah Dania menggandeng Sasya---membawa Sasya masuk ke dalam rumah untuk dimandikan lagi.

Aturannya di keluarga tersebut---siapapun yang menangis akan selalu dibela.

Di tempat itu, tinggallah Nenek Ula dan Agam. Tatapan yang Nenek Ula berikan adalah tatapan kecewa. Agam tidak tau harus beralasan apa, sebab ia tidak melakukan kesalahan apapun.

"Nenek..." panggil Agam kecil yang sebaya Sasya.

Kemudian, Nenek Ula berjongkok, mensejajarkan tubuhnya agar setara dengan Agam. Nenek Ula tersenyum, lalu memegang kedua bahu Agam.

"Agam harus ngalah sama Sasya. Agam harus ngelindungi Sasya. Ingat?" pesan Nenek Ula.

"Kenapa?" polos Agam.

"Karena Agam... cowok," terang Nenek Ula.

"Cowokkan yang ngelindungi cewek. Jadi, Agam jangan bikin Sasya nangis," lanjut Nenek Ula.

Rasakanlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang