Bab 30

43 4 0
                                    

Sasyalah yang duluan berinisiatif mengajak Niko bertemu. Kebetulan tidak ada kegiatan Osis ataupun kesibukan lainnya, Niko segera menemui Sasya di kelasnya saat itu juga.

Mereka berdua pun duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu bercat cokelat.

"Gimana perkembangan hubungan kamu sama ayah kamu?" sasya membuka obrolan.

Pemuda tampan yang memiliki sejuta pesona itu menatap lawan bicara yang duduk di sebelahnya. "Thank's Gam, semuanya berkat bantuan kamu. Aku sama Ayah nggak sering berantem lagi. Kami mulai saling ngerti, dan bisa dibilang lumayan akur," cerita Niko.

Sasya tersenyum memandangi bunga-bunga yang tertanam subur di taman sekolah. Hampir semua jenis bunga sedang bermekaran, kelihatan indah sekali. Sebelumnya, Sasya hanya suka berada di dalam kelas. Jadi, ia tidak mengetahui bila ada banyak tempat indah di SMA Bina Bangsa.

"Nggak perlu sungkan, Niko," ucap Sasya.

"Kamu jangan sedih lagi, itu udah bikin aku senang banget," lanjut Sasya.

Sasya tidak membantu banyak, ia hanya sering menasihati Niko dan memberi saran yang sebaiknya Niko lakukan agar memperbaiki hubung dengan Ayahnya.

Pertengkaran Ayah dan Anak itu terjadi karena ego mereka masing-masing, Sasya meyakini hal tersebut.

Sasya pun teringat sesuatu, alasan dibalik ia yang meminta bertemu Niko melalui pesan pribadi.

"Oh iya... aku mau balikkin ini ke kamu," ujar Sasya sambil menyodorkan suatu benda yang bersinar terang.

Sebuah gantungan kunci pemberian Niko di telapak tangan Sasya berbentuk bintang, berwarna putih bening, terdapat kilauan cahaya di tengah-tengahnya semacam gliter.

"Aku udah cek harganya, ini nggak murah loh," sambung Sasya.

Niko termenung, tidak ada pergerakan. Barulah ia bersuara, "Simpan aja buat kenang-kenangan."

Sasya menghela napasnya. "Nggak ada alasan aku buat simpan. Nanti, kamu kasih aja ke seseorang yang betul-betul kamu anggap berarti."

Dengan berat, Niko menerima kembali hadiah yang pernah ia berikan pada Agam berjiwa Sasya. Niko menghormati keputusan Sasya, ia tidak mau memberikan kesan yang memaksa. Walaupun di sudut hatinya terselip rasa kecewa.

"Kamu... nggak bisa simpan pemberian dari aku, padahal cuman buat kenang-kenangan," ucap Niko lirih.

Sasya menekuk wajahnya merasa tak enak hati. Namun, ini adalah pilihan yang sudah diambilnya.

"Oke, Gam. Gantungan kunci ini, nantinya aku kasih ke orang yang aku cintai di masa depan." Niko tersenyum tulus.

Sasya juga membalas senyuman Niko. Seseorang yang pernah Sasya kagumi, seseorang yang pernah Sasya akui sebagai pangerannya.

"Lain kali, kalau mau ngasih ke aku... jangan terlalu mahal, yang murah-murah aja," tutur Sasya diselipkan candaan.

Niko mengangguk, ia menggenggan erat gantungan kuncinya. Ketua Osis tersebut tidak dapat membohongi isi hatinya. Senyumannya palsu, Sasya pasti dapat melihat itu.

"Dulu... Aku pengen banget ada di posisi sekarang..." jujur Sasya.

Niko menautkan alisnya keheranan.

Sasya melanjutkan kalimatnya di dalam hati, "Bisa ada di dekat kamu, ngobrol sama kamu, makan bareng kamu, itu kayak cuman angan-angan aku aja. Dan, aku senang... Niko. Aku senang, tapi perasaan aku beda."

"Waktu aku makan mie bakso langganan Niko, yang aku pikirin, 'Varen pasti nggak suka kalau di kasih banyak saos. Kalau Varen pasti ngasih sebagian baksonya ke aku tanpa aku minta' Apapun yang aku lakuin sama Niko, aku tetap aja mikirin Varen," batin Sasya.

Rasakanlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang