Bab 23

97 7 2
                                    

"Ya Ampunnn!! Muka aku!!" pekik Sasya histeris dengan raut wajah yang ia buat sedramatis mungkin.

Agam memutar bola matanya malas, lalu menggaruk daun telinga. Ketenangannya sebentar lagi akan berakhir. Apa lagi kalau bukan karena kedatangan sumber kehebohan.

"Muka aku kok jadi gini? Nggak ninggalin bekaskan?" Sasya menunjuk wajah imut dirinya yang berjiwa Agam.

"Nggak usah lebay," jutek Agam sembari menepis tangan Sasya dari wajahnya.

Kenyataannya, apa yang terjadi pada Agam tidak separah dibandingkan dengan reaksi Sasya yang super berlebihan.

Sebelah kanan pipinya berbekas kemerahan akibat pukulan Surya. Sedangkan lutut dan sikunya yang terluka baru saja diobatin oleh Bu Ayu.

Sebelum pertikaian berakhir, Kaivan dan Adnan terlebih dahulu tiba sebab rumor yang datang begitu cepat.

Kedua abang sepupu Sasya itu mana mungkin membiarkan adik sepupu kesayangan mereka terluka, apalagi mendengar bahwa Sasya ditindas oleh seorang siswa.

Maka dari itu, Adnan selaku mantan ketua OSIS dan Kaivan si siswa kesayangan Guru padahal tidak pintar juga ikut bersama Bora sebagai saksi menemui Bu Hanum.

Mereka ingin menegakkan keadilan.

"Kok bisa ya, kamu bermasalah sama si---anak kelas berapa dia?" tanya Sasya.

Setelah diberitahu bahwa Sasya berjiwa Agam dirundung, ia tidak mendengar kronologinya lebih lanjut lagi. Malah segera berlari ke UKS untuk mengecek wajah berharganya. Meskipun tidak begitu cantik---seperti yang dikatakan Maura. Sasya masih merasa jika dirinya lumayan imut, selain wajah, ia tidak tau apa lagi kelebihan yang dimilikinya.

"Surya, kelas XI MIA 5," cetus Agam.

"XI MIA 5?! Berarti sekelas dong sama Alam? Terus, Gam... siapa duluan yang mulai?"

Agam menceritakan pada Sasya awal terjadinya hingga ia berakhir di UKS, tanpa ada yang terlewatkan sedikit pun. Namun, otak Sasya yang bekerja lebih lambat kalau bukan berhubungan dengan cinta dan biologi, hanya bisa bengong.

"Jadiii... Ee, Surya ngg-nggak ada... salah sama kka-lian-kan?" tanya Sasya terbata.

"Intinya, Bora nolongin adik kelas yang dibully sama Surya, terus aku belain Bora. Selesai," ujar Agam dengan nada acuh tak acuh.

Sasya melebarkan matanya, Agam menebak sepertinya protesan sebentar lagi akan dilayangkan sepupu bawelnya itu.

"Mana boleh!!" pekik Sasya. Kemudian, ia melanjutkan, "Boleh sihhh... boleh, tapi jangan pakai tubuh aku juga lah! Aku perhatiin ya Agam, padahal kita belum ada dua minggu ketukar tubuh tapi muka aku udah beruntusan! Nggak tenang aku. Kalau mau tidur, minimal cuci muka dongg," cerocos Sasya.

"Bora juga udah jadi teman kamukan, Sya? Kamu tega Bora bertengkar sendirian sama Surya?"

Sasya mengerucutkan bibirnya, lalu menggeleng pelan dan melengos ke samping. Ia juga akan melakukan hal yang sama, seandainya ada di posisi Agam.

"Lagian sihh, Bora ngapain ikut campur... Biarin aja, seratus persen dijamin bakal hidup tenang," kata Sasya.

"Bora? Dia mana bisa lihat penindasan. Sampai-sampai, mengabaikan ketenangan diri sendiri demi nolongin orang lain," ucap Agam penuh kekaguman.

Semakin Agam mengenali Bora, semakin perasaannya bertambah besar. Ia bahkan menyukai sifat buruk Bora yang kurang memperhatikan kebersihan, masakkannya tidak enak, tidak peka, juga terlalu baik pada siapapun.

Di sisi lain, Sasya jadi teringat Bora yang tadi hampir melabrak Prita, Ruby, dan Maura yang bercerita buruk tentang Sasya. Namun, berhasil Sasya cegah.

Rasakanlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang