Sial sekali.
Mimpi apa Sasya semalam hingga membuat kelasnya sekarang alias XI MIA 1 ditugaskan sebagai petugas upacara. Sasya tidak tau, sebab sabtu kemarin kelasnya tidak ada latihan sama sekali. Atau ada pemberitahuan tapi Sasya tidak menyimak.
Ternyata kelas XI MIA 1 memang tidak pernah latihan lagi karena mereka sudah terbiasa dan ahli. Bahkan kelas XI MIA 1 selalu mendapatkan banyak pujian dari Guru. Seringnya juga mereka menggantikan kelas lain yang tidak ada persiapan dalam melaksanakan upacara bendera.
Tragisnya lagi, Sasya yang biasanya hanya numpang nama sebagai paduan suara, kini malah ditunjuk menjadi pembaca Undang-Undang Dasar 1945 yang biasanya dipercayakan kepada Agam.
Sasya demam panggung dan sempat menolak, namun semua mendesaknya. Sasya seperti di dorong ke pinggir jurang. Tidak ada pilihan lain, dengan terpaksa Sasya terima. Na'asnya, pengucapan Sasya tak karuan.
Sasya mengeluarkan keringat dingin, tangannya gemetar dan jantungnya berpacu hebat. Sasya sulit untuk fokus. Suaranya terdengar serak seperti akan menangis.
Pada ujungnya, Sasya lupa sampai mana bacaannya. Memalukan sekali.
Sasya benci ditertawakan.
Upacara bendera kala itu terasa begitu lama. Seandainya bisa, ingin rasanya Sasya kabur saat itu juga. Sasya berdiri dengan menundukkan kepalanya di hadapan seluruh murid SMA Bina Bangsa. Kepercayaan diri Sasya mendadak hilang.
Usai melaksanakan rutinitas wajib setiap hari senin itu, semua murid SMA Bina Bangsa pun kembali ke kelasnya. Sebelum masuk kelas, Sasya diceramahi guru-guru yang bertugas piket di hari senin.
Sasya masuk ke kelasnya dengan kondisi dongkol. Bukan hanya badannya, tapi kepalanya pun ikut panas. Sepanjang koridor banyak siswa dan siswi kedapatan berbisik-bisik menatap Sasya. Risih! Sasya tau mereka bukan sedang memuji Sasya.
Setelah duduk di bangkunya, ia mengambil buku catatan asal yang di atas meja. Dan mengalih fungsikan buku tersebut sebagai kipas.
"Merasa yang paling hebattt! Kek orang nggak pernah buat salah aja," gerutu Sasya dalam hati.
Sasya mengibas-ngibaskan buku tersebut semakin kencang. Sasya butuh balok es secepatnya!
"Woy!!"
Sasya tersentak, "Apaan sihh Raka!! Ngagetin tau nggak!!" pekik Sasya tak kalah keras.
Raka mengambil paksa buku catatannya yang di pegang Sasya. "Ini buku aku tau nggak?" sahut Raka meniru nada bicara teman sebangkunya.
"Siapa suruh ada di meja aku? Nggak jelas banget jadi manusia." Sasya ngedumel pelan.
Raka tidak menjawab lagi. Sasya pun curiga, ia melirik sekilas pemuda di sebelahnya yang rupanya sedang menyisir rambut klimisnya dengan sebuah sisir berukuran kecil.
"Ketampanan aku tiga tingkat lebih dari kamu. Mirip-miriplah sama Niko," ujar Raka sembari menatap dirinya di kamera ponselnya.
Boleh Sasya muntah sekarang?
Abaikan saja kelakuan random Raka. Sasya memilih bengong menatap setiap sudut kelas. Barusan, Sasya sempat beradu tatap dengan Varen. Tapi, Sasya buru-buru mengalihkan arah netranya.
Varen tentu bingung terhadap sikap Sasya. Apalagi Varen sangatlah perasa. Ia tau, hari ini Sasya menghindarinya. Namun, kenapa?
"Varen emang baik. Tapi, aku lagi ngambek. Pokoknya aku nggak mau ngomong lagi sama Varen, titik," batin Sasya.
Tidak berselang lama, Bu Najma selaku wali kelas XI MIA 1 sekaligus mengajar pelajaran Fisika memasuki kelas yang kini mendadak hening.
Bu Najma tidak banyak basa-basi, itulah kesan Sasya terhadap wali kelas XI MIA 1 tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasakanlah!
Teen Fiction"Kamu nggak pernah bisa menempatkan diri kamu jadi orang lain. Itulah kekurangan kamu." "Aku memang nggak pernah bisa karena aku nggak pernah ada di posisi orang lain. Dan aku nggak akan pernah tau penderitaan orang lain sebelum aku ngerasainnya sen...