Bab 12

227 27 81
                                    

Sasya menghela napas berat sembari berbaring di tempat tidur Owan dan Owen. Sasya telah melewati hari yang panjang nan melelahkan. Ia hendak bersantai sejenak.

Barulah terbesit di benak Sasya. Mungkin saja jika ia membeli makanan-makanan favoritnya, perasaan sedih ini akan berkurang. Seperti kebiasaan Sasya dahulu---sebelum mengalami perpindahan jiwa dengan sepupunya itu.

"Loh? Di mana?" Sasya membuka setiap laci meja belajarnya.

"Perasaan kemarin aku taruh di sini. Iyaaa, aku ingat bangett."

Sasya menggeledah tas sekolahnya, tapi hasilnya nihil. Sasya belum mendapatkan uang berjumlah tiga puluh lima ribu rupiah yang ia cari.

Suasana hati Sasya bertambah buruk. Pasalnya, Sasya sudah begitu berhemat. Selama ini ia menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menuruti dorongan dirinya yang suka jajan. Tapi, sepertinya semua itu percuma saja. Semuanya sia-sia karena uang itu telah lenyap.

"Kenapa cobaan hari Ini banyak bangetttt," batin Sasya sedih.

Di awali dengan Sasya yang salah dalam pembacaan naskah Undang-Undang Dasar 1945 dan berujung dimarahi Guru. Terus, Sasya yang dihukum Bu Najma saat belajar di kelas hingga akhirnya ia pingsan di tengah lapangan upacara.

Tidak sampai disitu, kini uang Sasya hilang. Rasanya Sasya ingin berteriak sekencang mungkin supaya bisa melampiaskan beban yang ada dihatinya.

Cobaan datang menabrak Sasya bertubi-tubi. Belum lagi takdir yang membuat pertukarannya jiwa Sasya dan Agam. Dimana keluarga dan sahabatnya tidak ada yang mempercayai Sasya. Dosa berat apa yang telah Sasya lakukan hingga ia mengalami kemalangan ini?

Mungkin, bagi Sasya yang dulu uang tersebut nominalnya sedikit. Tapi tidak dengan Sasya yang sekarang. Sasya benar-benar kekurangan uang.

Di sisi lain, Vidya masuk ke kamar dan menaruh pakaian si kembar ke dalam lemari.

"Agam. Mama tadi ambil uang kamu yang ada di laci," ujar Vidya setelah menutup kembali lemari kayu yang sudah terlihat usang. Sasya prediksi, umur lemari kayu tersebut lebih tua dari si kembar.

Sasya terdiam. Ia mencoba mencerna perkataan Vidya dengan ekspresi cengo. Napas Sasya mulai naik-turun menahan emosinya.

Bukan sekali ini, tapi Vidya Sudah  pernah mengambil uang milik Sasya. Awalnya Sasya sempat berburuk sangka pada adik-adiknya Agam. Tapi, Sasya segera menepis pikiran buruknya. Anak sekecil itu tidak mungkin mencuri.

Ternyata, di luar sangka, Vidyalah yang tanpa permisi mengambil uang Sasya. Saat itu, Sasya bisa memakluminya. Tapi, dengan kondisi hati Sasya yang sudah buruk. Mungkinkah Sasya bisa bersabar lagi menghadapi Mamanya Agam?

"Maaa, itu privasi aku," lirih Sasya.

"Kamu nggak boleh Mama ambil uang kamu?" Vidya melebarkan matanya penuh amarah.

"Uang kamu udah Mama beliin beras sama lauk yang tadi kamu makan."

"Itu uang aku, Maa... bukannya aku nggak mau ngasih, tapiii aku emang nggak punya uang." Sasya masih berharap Vidya akan mengertinya.

"Dirawat dari kecil, Ini balasan kamu? Uang nggak seberapa, pelitnya minta ampun. Belum di kasih kaya, udah jadi anak durhaka," ketus Vidya.

"Itu emang kewajibannya orang tua!!" pekik Sasya meledak-ledak.

"Aku capekkkk," rintih Sasya.

"Apa Mama udah jadi Mama yang baik buat aku? Apa Mama pernah nanyain aku, 'Tadi gimana sekolahnya?' Aku di sekolah tadi sakit sampai pingsan, Mama nggak taukan? Aku tadi dijadiin bahan ketawa anak-anak sekolahan, Mama nggak taukan? Aku tadi pas kerja dimarahi sama pelanggan foto kopi, Mama nggak taukan?"

Rasakanlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang