Bab 22

99 8 2
                                    

"Saya menikah lagi, demi siapa?! Waktu itu, siapa yang setiap hari ngerengek minta Mama sama saya?!"

Suara berat dan lantang itu menyita perhatian Sasya yang baru saja keluar dari rumah Bora. Keinginan tahuannya begitu tinggi. Apalagi sudah lewat jam delapan malam, suara pertengkaran tersebut terdengar lebih menggema di telinga.

"Niko mau Mama, Mamanya Niko!! Bukan Nenek lampir!!"

Setelah bunyi tamparan yang begitu keras, Sasya tidak mendengar apapun lagi. Suasana menjadi hening. Hati Sasya mendadak cemas.

Sasya pun memberanikan diri mengintip dari sela-sela pagar yang terbuat dari besi, setelah memastikan pria sekitaran empat puluh tahunan itu sudah pergi dengan mengendarai mobil.

"Ini rumahnya Niko, kan?" Sasya celingak-celinguk seperti seseorang yang hendak maling.

Jujur saja, Sasya khawatir. Meskipun sedang ditahap move on, ia masih memiliki rasa simpati yang tinggi. Tidak ada salahnya Sasya masuk untuk memastikan, kan? Lagi pula, pintu pagar tersebut tidak dalam keadaan terkunci.

Sasya berjalan perlahan mendekati seorang pemuda tampan sedang duduk di lantai teras rumahnya.

"Kenapa Niko di luar? Dia bisa masuk angin," batin Sasya.

"Kamu... nggak apa-apa?" tanya Sasya ragu-ragu.

Niko tersenyum dengan tatapan kosong.

"Nggak usah senyam-senyum, tuh lihat..." Sasya menunjuk menggunakan bibirnya yang ia majukan. "Muka kamu luka-luka gituuu... bukannya aku nggak mau ngobatin. Cumannn, aku nggak berani sama luka, apalagi ada darahnya," ucap Sasya sambil duduk di sebelah Niko.

Lagi dan lagi Niko tersenyum hambar, "Kamu orang pertama yang nanyain gimana kondisi aku."

"Maksud Niko, apa?" tanya Sasya dalam hati.

"Kamu... sepupunya Sasyakan?" Niko memastikan.

Sasya mengiyakan. Sungguh menjengkelkan, Agam mempunyai nama. Mengapa semua orang memanggilnya sebagai 'Sepupunya Sasya'

"Kamu dengar semua?"

"Yanggggg, Ayah kamu nikah lagi? Eehhh---" Sasya menutup mulutnya menggunakan tangan kanan. Ia tidak bermaksud jujur. Sungguh, Sasya merutuki dirinya sendiri yang terlalu ceplas-ceplos. "Aku janji, cerita ini nggak aku bilang ke siapa-siapa."

"Semoga aja, omongan kamu bisa dipercaya..." Niko melanjutkan, "Nggak ada yang tau tentang masalah aku dan aku berharap jangan sampai ada yang tau."

"Niko, kamu butuh tempat cerita. Mendam sendirian tuh rasanya nggak enak. Mungkin aja hati kamu lebih lega kalau kamu keluarin semuanya."

"Aku malu," jawab Niko pilu.

Sasya berkata dengan penuh keyakinan, "Kamu bisa cerita sama aku, nggak ada yang harus dimaluin kok, akukan udah tau setengahnya."

Niko menghela napas berat. "Aku sama Ayah aku nggak akur. Setiap ketemu selalu cek-cok. Permasalahannya itu-itu aja... bosan."

Sasya masih fokus mendengarkan curahan hati yang dulu diakui Sasya sebagai pangerannya.

"Kayak yang kamu dengar sendiri, Mama aku meninggal pas lagi mengandung adik aku delapan bulan... adik bayi yang aku tunggu-tunggu juga nggak bisa diselamatin. Dan, parahnya apa? Ayah aku nikah lagi padahal belum lewat empat bulan setelah Mama dan adik aku meninggal," cerita Niko.

Sasya melengkungkan bibirnya ke bawah. Ia tidak tahan melihat sisi rapuh Niko---cowok populer, friendly, yang selalu menebar senyuman.

Sasya mengira Niko hidup tanpa beban. Ternyata asumsinya selama ini salah total. Nyatanya, Niko tidak sebahagia kelihatannya.

Rasakanlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang