Bab 06

328 43 127
                                    

Menyedihkan, Sasya benar-benar sedang bersedih. Ia merasa hidup sebatang kara di dunia ini. Tak ada tempat bergantung ataupun bersandar lagi. Semua hal harus Sasya kerjakan seorang diri. Sasya dipaksa mandiri oleh keadaan.

Bahkan sekarang Sasya sedang memikirkan cara agar bisa sampai ke rumahnya. Padahal biasanya, pulang sekolah bukanlah sesuatu yang sulit. Sasya akan pulang bersama Adnan atau Kaivan.

Ternyata, begitu susah jika tidak bisa mengendarai sepeda motor. Sasya baru mengerti setelah mengalaminya sendiri.

Di kecamatan ini tidak ada ojek online apalagi taxi. Adanya becak yang harganya mahal sekali. Dari rumah Agam ke SMA Bina Bangsa saja di patok upahnya lima belas ribu rupiah. Itulah yang membuat Sasya berpikir dua kali.

Satu-satunya yang bisa Sasya naiki adalah bus sekolah. Ongkos sekali jalannya seribu rupiah, murahkan? Tapi, ketika pulang sekolah bus tersebut sudah jalan duluan sebab jam pulang sekolahnya Sasya lebih lama dari sekolah yang lain.

Sekarang Sasya harus bagaimana? tidak mungkinkan ia berjalan kaki.

"Kaki aku sakitttttt..." keluh Sasya.

"Bunda!! Papa!! Nenek!!" pekik Sasya dalam hati.

"Sasya kangen kalian."

Sasya menghentikan langkahnya kala ia melihat sosok yang berdiri di jalan utama menuju gerbang depan sekolah.

"Ihhhh, kenapa Alam bisa ada di situ sihhh??" gerutu Sasya.

"Ohh iyaaa, uang aku!!"

Sasya buru-buru mengeluarkan uangnya yang berjumlah tujuh belas ribu rupiah dari dalam tas ranselnya. Lalu, Sasya memasukkan uang tersebut ke kaos kaki berwarna putih yang ia kenakan.

Sasya menepuk pelan kaos kaki yang menonjol karena ia selipkan uang. "Aman!!" lega Sasya.

"Kalau ditanya, nanti tinggal aku jawab aja, ini bisul!!"

Sasya hendak melangkah pun mengurungkan niatnya lagi. Ia takut. Bagaimana jika Alam marah padanya sebab sudah meledeknya tadi pagi ketika di belakang sekolah?

Bermodalkan keberanian, Sasya meneguk salivanya berat, berjalan tegak dan kaku melewati Alam dan teman-temannya yang sedang berdiri di jalan utama menuju gerbang depan---dekat dengan meja piket guru.

"Oy!!"

Mata Sasya terbelalak, ia menoleh ke samping kanan dan mendapati Alam sedang merangkul bahunya.

"Mau pulang?"

Sasya mengernyit heran. Mengapa Alam tiba-tiba menjadi sok akrab padanya?

Sasya mengangguk samar. "Aku nggak ada uang," ceplos Sasya.

Berbarengan rangkulan terlepas, Alam tertawa. Kemudian, menggaruk pangkal hidungnya. Barulah cowok berandalan itu menatap Sasya dalam-dalam.

"Siapa yang mau minta uang?" kekeh Alam.

"Kalau ada yang ganggu kamu, bilang aja sama aku ya, Gam," pesan Alam.

Sasya masih dilanda kebingungan. Ada apa dengan Alam?

"Tapiii, kamu cerita yang baik-baik tentang aku ke Sasya," sambung Alam.

"Ternyata ada maunya," batin Sasya.

Sasya mengiyakan saja biar ia bisa cepat-cepat melarikan diri. Bagi Sasya, Alam tetaplah mengerikan. Belum lagi wajah Alam banyak di penuhi goresan-goresan luka. Bisa ditebakkan, cowok yang bernama Alamsyah itu sering berantem.

Luka tersebut dianggap keren oleh Alam dan teman-temannya. Seperti, menambah ketampanan dan kepercayaan diri mereka. Padahal menurut Sasya tidak keren sama sekali, soalnya yang dianggap keren oleh Sasya hanya Niko Danendra seorang!!

Rasakanlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang