Tidak berselang lama dari Agam yang mengadu pada Dania perihal masalahnya dengan Surya, Bunda Sasya itu pun menyuruh Agam untuk berkemas. Tepatnya pada pukul sembilan malam lewat, Bara yang baru saja pulang bekerja---tanpa beristirahat, ia langsung membawa istri beserta puteri tunggalnya mendatangi sebuah restoran yang bisa dikatakan lumayan mewah dan tertutup.
Agam sampai ternganga melihat hidangan yang tersedia di meja berbentuk bundar itu. Baru pertama kali baginya masuk ke sebuah restoran. Namun, Agam harus mempertahankan image Sasya---bersikap biasa saja.
"Sasya sudah makin besar ya? Yang saya dengar dari guru-guru juga, Sasya tambah aktif di sekolah."
Suara berat tersebut mengejutkan Agam berkali-kali lipat, bagaimana tidak? Pak Damar selaku kepala sekolah SMA Bina Bangsa sedang duduk di sebelah Papa Sasya.
"Makasih Pak Bara, sudah menjadi dokter yang bertanggung jawab mengobati istri saya," ujar Pak Damar ramah.
Bara tersenyum, "Hal seperti itu... tidak perlu diungkit."
Bara adalah dokter profesional di rumah sakit paling ternama di kecamatan ini. Satu fakta lagi, rupanya anak sulung Pak Damar sedang magang di rumah sakit yang sama dengan Papa Sasya bekerja.
Ada tanda tanya yang terlintas di benak Agam? Kapan makanan lezat ini bisa di nikmati? Tidak ada seorang pun yang tampak memegangi sendok maupun garpu.
Setelah berbincang-bincang singkat, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan memperlihatkan tiga orang memakai pakaian formal.
"Surya?" batin Agam sedikit kaget.
Agam yakin, pria dan wanita paruh baya yang bersebelahan dengan Surya merupakan orang tua Surya.
"Maaf, kedatangan kami sedikit terlambat," ucap Mama Surya sekedar formalitas.
Semuanya menanggapi dengan tersenyum sopan. Lagi dan lagi, keheningan melanda. Apakah sudah waktunya menikmati makan malam? Mengapa semua orang hanya diam saja. Agam membayangkan bila hidangan enak di meja bisa berbicara, mungkin begini. "Permisi, kami makanan bukan pajangan!!"
Berpura-pura menjadi seorang anak gadis betul-betul tidak mudah Agam jalani.
Dania membuka suara membuat suasana berubah semakin sesak, "Saya langsung ke inti permasalahannya saja."
"Mengenai yang terjadi pada anak-anak kita, Bapak sama Ibu pasti sudah mengetahui kronologinya. Menurut anda bagaimana? Dari sudut pandang seorang ibu," tanya Dania tajam.
Mama Surya mengembangkan senyuman terpaksa, berusaha setenang mungkin. "Begini... Surya memang sedikit tempramen. Tolong, maklumi emosinya yang tidak stabil. Namanya saja Anak muda."
Dania membalas dengan senyuman tak kalah manis, "Wajar saja berkelahi, apalagi diusia mereka yang masih di masa pemberontakkan. Itu bisa kami maklumi, Tapi... apakah harus menggunakan kekerasan fisik? Apakah bisa dibenarkan perbuatan yang menindas puteri kami?"
"Temannya Sasya yang memulai, dia menumpahkan mie goreng ke baju seragam anak Saya," Mama Surya masih mencari pembelaan.
Agam melotot, ingin sekali membantah. Bora melakukannya karena Suryalah yang terlebih dahulu menggangu adik kelas. Agam berdecak, pintar sekali, malah memutar balikkan fakta.
Ayah Surya menepuk pelan paha Mama Surya, menyuruh untuk istrinya diam saja. Perkataan Wanita bersanggul itu malah memperburuk keadaan.
Sebagai sesama orang tua, mereka pasti ingin melindungi anaknya. Tidak peduli berbuat salah atau tidak, orang tua akan selalu membela anaknya. Tidak ada yang benar-benar jahat diantara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasakanlah!
Teen Fiction"Kamu nggak pernah bisa menempatkan diri kamu jadi orang lain. Itulah kekurangan kamu." "Aku memang nggak pernah bisa karena aku nggak pernah ada di posisi orang lain. Dan aku nggak akan pernah tau penderitaan orang lain sebelum aku ngerasainnya sen...