Bab 17

148 9 0
                                    

Sasya tidak bisa hanya diam dan mendengarkan. Semua ini salah paham. Sasya yakin, persahabatan mereka pasti bisa bertahan. Sasya pun berjalan menuju Bunga kelas XI MIA 2, kemudian disusul Varen dari belakang.

"Prita, bukannya Sasya pernah nanya ke kamu, kalau kamu suka sama Niko atau nggak. Waktu itu, kamu bilangnya nggak kan? Kenapa sekarang beda lagi?" ujar Sasya halus.

"Kamu cuman orang luar, Gam. Nggak usah ikut campur masalah kami, bisa?" balas Prita.

"Misalkan ada sifat Sasya yang kalian nggak suka, kalian bisa langsung bilang. Dia nggak akan marah sama kalian. Jangan kalian pendam, terus bicarain di belakang dia." Mata Sasya mulai berkaca-kaca.

Kali ini, Agam diam. Membiarkan ruang untuk Sasya mengeluarkan isi hatinya.

"Kesalahan fatal apa yang Sasya lakuin sampai kalian benci sama dia?" tanya Sasya.

Sasya akui, dirinya memang salah. Namun, perasaannya tulus terhadap Prita, Maura, dan Ruby. Ia merasa dikhianati oleh mereka.

"Tanyain itu ke Prita, karena masalahnya ada di Prita, berapa kali Sasya udah nyakitin hati dia?" sahut Ruby.

"Sebegitu sayangnya kamu sama Prita? Kamu selalu aja belain dia, Ruby," pilu Sasya.

Meskipun sekarang jiwa Sasya terjebak di raga Agam, ia tetap ingin meluruskan kesalahpahaman antara mereka. Sasya masih yakin semua hanyalah kesalahpahaman saja. Persahabatannya tidak boleh berakhir semudah ini. Tidak boleh dan ia tidak mau.

"Karena Prita... dia sahabat aku, Sedangkan Sasya..." Ruby melirik Agam melalui ujung ekor matanya. "Bukan," tekan Ruby dengan sinis.

Hati Sasya tersayat. Rasanya sakit sekali. Apalagi perkataan itu diucapkan langsung oleh seseorang yang sudah Sasya anggap sebagai sahabatnya.

"Kalian nggak boleh gini," Maura menghentak-hentakkan kakinya yang mulai kebingungan.

"Maura, sekarang kamu milih kami atau Sasya?" Ruby terus mendominasi perdebatan kali ini.

Semuanya diam.

Hingga, Maura pun memegang telapak tangan Ruby dan Prita. Dengan posisi tubuh membelakangi Agam, Maura sedikit menolehkan kepalanya. "Sorry, Sya."

Sasya memejamkan kelopak matanya agar air matanya tidak terjatuh.

"Kayaknya kita emang nggak begitu dekat. Di bandingkan kamu, Ruby sama Prita lebih baik."

Sepeninggalan tiga sahabatnya, Sasya terus menundukkan pandangan ke lantai. Dirinya bertanya-tanya, apakah persahabatan ini benar-benar sudah berakhir?

Sasya tidak percaya, benar-benar tidak percaya.

Agam menepuk pelan pundak Sasya, "Sya."

Lantas, Sasya pun menghela napasnya. Tanpa menoleh ke Agam, Sasya menatap Varen. "Ayok... Varen, kita ke kelas."

Agam mengerti bila Sasya terluka. Namun, Sasya tidak perlu berpura-pura kuat dan tegar. Hal itu malah membuat hati Agam perih. Menangislah jika memang Sasya ingin menangis.

***

Jam istirahat sudah hampir habis, oleh sebab itu kantin tidak seramai tadi. Murid yang berada di kantin saja bisa di hitung menggunakan jari. Salah satunya Niko. Pemuda tampan itu sedang meneguk sebotol minuman rasa jeruk manis yang baru ia beli.

Niko melihat ada sepasang sepatu berwarna hitam di hadapannya, lantas ia pun menatap sang empu yang sedang tersenyum tipis padanya.

"Prita?" sapa Niko.

Sang gadis melebarkan senyumannya.

Rasakanlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang