RS | Part 1

1K 60 31
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

MATERNITY umumnya dilakukan pada trimester ketiga, lebih tepatnya saat usia kehamilan menginjak angka 7 atau 8 bulan. Alasannya pun cukup klasik, agar baby bump terlihat lebih jelas dan bulat, tapi belum terlalu berat sehingga sang ibu masih bisa mencoba berbagai pose dan menjalani proses pemotretan cukup lama.

Hamna merengek pada sang suami, yang bersikukuh tak ingin menuruti permintaannya. Dia berusaha membujuk dengan berbagai macam cara, agar bisa meluluhkan hati suami tercintanya. Tapi, tetap saja Hamzah teguh pada pendirian, sama sekali sulit untuk digoyahkan.

"Untuk apa foto maternity, Na? Budaya orang luar kok diikuti."

"Ya buat kenang-kenangan atuh, Aa. Kok nggak mau banget sih nurutin ngidam istrinya!"

"Bukannya nggak mau, tapi saya nggak suka lihat kamu pamer perut di depan orang lain yang nggak seharusnya melihat secara detail milik saya. Lagi pula usia kandungan kamu juga baru masuk bulan keenam, Na."

Hamna mendelik tak suka. "Kan, pake baju, nggak telanjang depan fotografer! Emang masih enam bulan, tapi isinya dua, lihat dong perut saya sudah sebesar apa sekarang?!"

Hamzah geleng-geleng kepala. "Na kalau ngomong di-filter dikit bisa kali, nggak usah sefrontal itu."

"Ya habis Aa nyebelin sih, cemburu buta nggak jelas. Orang cuma foto buat kenang-kenangan doang juga!"

"Saya yang fotoin, oke?"

Hamna menggeleng tegas. "Ogah. Nggak mau!"

"Saya ini juga mantan fotografer profesional, malah sekarang saya dosen di Fakultas Seni Media Rekam. Hasil jepretan saya nggak akan kalah, saya bisa jamin justru akan jauh lebih bagus."

Hamna memutar bola mata jengah. "Itu namanya Aa curi-curi kesempatan, pasti mau sekalian modus, kan!"

Hamzah menaikan satu alisnya. "Kamu nggak salah ngomong? Difotoin suami malah suudzan, padahal apa yang saya lihat merupakan sesuatu yang halal. Tapi, difotoin fotografer yang jelas-jelas orang lain, malah nggak keberatan. Kamu bener-bener ya, Na."

"Saya nggak yakin dengan kemampuan Aa, jelek pasti hasilnya. Saya mau hasil yang bagus dan nggak mengecewakan."

Hamzah pun tertawa. "Hasil tangan ajaib saya sudah mejeng di berbagai majalah, di album nikah, bahkan saya punya galery foto sendiri. Kamu nggak salah meragukan kemampuan saya?"

Hamna bersidekap dada. "Sombong!"

"Bukan sombong, tapi saya memang bicara fakta."

Hamna bangkit dari duduknya, dia berjalan menuju almari, mengeluarkan pakaian yang sudah dia siapkan untuk foto maternity.

"Papa kalian itu pelit, perkara bayar fotografer aja nggak mau. Nggak modal banget, kan? Bersembunyi di balik kata cemburu, padahal mah nggak mampu!" ocehnya seraya mengelus lembut perut yang kian membuncit.

Hamzah merebut pakaian yang berada di tangan istrinya. "Ya Allah, Na, ini baju atau apa? Mana tipis dan nggak sesuai ukuran lagi. Kekecilan ini, Hamna!"

"Ya, kan supaya perut saya kelihatan pas difoto," katanya lalu merebut paksa gaun hamil tersebut.

"Nggak ada ya, Na. Aurat kamu itu tanggung jawab dan hak saya. Nggak boleh sampai ada yang lihat!"

"Cuma foto sebentar doang juga, nggak akan lama, paling dua sampai tiga jam."

Hamzah menggeleng tegas. "Kalau saya yang fotoin kamu bebas mau pakai apa pun. Saya yang akan cetak dan buatkan album dengan tangan saya sendiri, tanpa melibatkan pihak mana pun. Apa kamu nggak berpikir panjang? Oke, kalau kamu mengira hanya fotografer yang melihatnya, tapi apa kamu lupa bahwa foto itu akan diedit dan dicetak juga. Ada banyak pihak yang terlibat nantinya, dan menyaksikan detail jelas aurat kamu. Dan saya nggak mau hal itu terjadi!"

Rintik Sendu Musim Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang