بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"APA boleh saya minta waktu Ibu sebentar?" tanya Hamna pada Hamidah.
Di ruangan tersebut hanya ada Hamzah, Anggi, Hamna, serta Hamidah, sedangkan Lingga dan Bima tengah menunggu di luar.
"Silakan, Hamna," sahut Hamidah sama sekali tak merasa keberatan.
"Saya mau bicara berdua sama Bu Hamidah boleh, kan, A, Ma?" izinnya begitu sopan.
Anggukan kecil diberikan Hamzah dan Anggi, walau ada sedikit keengganan tapi keduanya menurut untuk meninggalkan ruang rawat inap tersebut.
"Bu maafkan saya, meksipun saya tahu mau sebanyak apa pun kata maaf yang saya ucapkan nggak akan bisa mengembalikan nyawa Cucu Ibu. Apa yang terjadi kemarin, tidak disengaja sama sekali, dan saya akui itu adalah kelalaian paling fatal yang mungkin sangat sulit untuk Ibu dan keluarga maafkan."
Dia menjeda kalimatnya, mengambil napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan. Dari helaan napas beratnya, sudah sangat tergambar jelas bahwa dia tengah tidak baik-baik saja. Pikiran dan hatinya saling berkecamuk.
"Saya titipkan putri saya pada Ibu, insyaallah saya ikhlas dan percaya. Bersama Ibu putri saya akan mendapat perlakuan baik, serta kasih sayang yang tulus. Bu, boleh saya minta sesuatu?"
Hamidah mengangguk singkat. "Saya mencoba untuk berdamai dengan takdir, tapi saya harap kamu bisa mengerti bahwa ada waktu dan proses yang saya perlukan sampai akhirnya saya bisa benar-benar memaafkan kamu. Tapi, saya akan mengusahakan agar tidak memupuk dendam, baik itu pada kamu maupun Hamzah."
"Saya akan merawat dan membesarkan putri kamu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Hamzah. Akan tetapi, saya tidak bisa menjanjikan banyak hal pada kamu, terkhusus dalam pengasuhan putri kalian. Saya hanya akan berusaha semampu saya untuk memberikan yang terbaik, dan menjadikan dia sebagai wanita shalihah, yang insyaallah akan saya persiapkan untuk meneruskan pondok pesantren milik keluarga kami."
"Maaf jika permintaan saya menyudutkan kamu, bahkan terkesan mengambil hak kamu sebagai seorang ibu. Tapi, kami membutuhkan seorang penerus, dan seharusnya Haleeza yang akan mengemban amanah tersebut. Saya dan suami tidak muda lagi, kami memiliki cita-cita agar pondok pesantren yang kami bangun bisa tetap berdiri, bahkan maju dan berkembang hingga masa yang akan datang."
Hamidah menggenggam tangan Hamna cukup erat. "Kapan pun kamu dan Hamzah mau menemui putri kalian, pintu rumah kami akan terbuka lebar. Sebagaimana yang sudah saya katakan, saya hanya ingin mengasuh dan merawat dia, tanpa ada niatan untuk menghilangkan nasabnya yang ada pada kalian. Kamu dan Hamzah tetap orang tuanya, dan saya akan jelaskan terkait hal tersebut pada saat dia sudah cukup usia. Kamu mau minta apa, Na?"
Bukannya menjawab Hamna malah menangis tersedu-sedu. Entah dia harus bersyukur atau justru malu, mendengar penjelasan Hamidah yang sudah memiliki planning matang terkait masa depan putrinya.
Sedangkan dia sebagai orang tua kandung?
Serasa ditampar telak, dia belum layak untuk dikatakan sebagai orang tua. Mungkin inilah sebabnya Allah mengatur takdir sedemikian rupa, karena Allah tahu kapasitas dirinya ada di tahap apa.
"Kenapa malah nangis? Apa ada perkataan saya yang melukai kamu?" seloroh Hamidah cukup shock.
Hamna menggeleng kecil. "Saya justru malu sama Ibu, saya sudah menjadi dalang dari kedukaan yang Ibu rasa, tapi Ibu malah hendak mempersiapkan masa depan yang masyaallah begitu luar biasa untuk putri saya. Malu saya, Bu, sangat malu."
Hamidah tersenyum tipis. "Saya dan suami sama-sama anak tunggal, dan kami pun hanya dikaruniai satu orang putra, Haikal. Qodarullah, Haikal wafat dan hanya meninggalkan satu orang anak, Haleeza. Tapi, kami kalah di persidangan, hak asuh dan perwalian jatuh pada keluarga Hanin."
"Pada saat awal-awal memang sulit untuk menerima kenyataan, tapi lambat laun mata dan hati saya mulai terbuka, terlebih saat melihat bagaimana Hamzah merawat dan mendidik Haleeza dengan begitu tulusnya," jelas Hamidah seolah tengah dibawa ke masa beberapa tahun lalu.
Hamna menunduk dalam. "A Hamzah memang sangat amat menyayangi Haleeza, bahkan mungkin rasa cintanya melebihi rasa cinta dia pada saya. Dan dengan tidak tahu dirinya, saya justru bertindak ceroboh dengan membuat malaikat kecil tak berdosanya harus merenggang nyawa."
Hamidah menggeleng pelan, dia angkat dagu Hamna agar menatapnya. "Kamu salah, Na. Saya justru melihat cinta yang begitu luar biasa di mata Hamzah. Dia bahkan memohon-mohon pada saya untuk tidak membawa kasus ini ke meja hijau, karena saking takutnya kamu dipenjara. Dia takut kehilangan kamu."
"Pada saat itu emosi saya sedang tidak stabil, bahkan perkataan saya tidak dapat dikendalikan sama sekali. Mulut saya terlalu jahat, dan seolah menyudutkan kamu dan Hamzah atas kepergian Haleeza. Dan saya meminta maaf akan hal tersebut."
Secara spontan Hamna memeluk Hamidah dengan penuh kehangatan. "Saya mengira Ibu akan mencaci-maki saya, tapi ternyata saya salah. Ibu begitu baik dan mau memaafkan kesalahan fatal yang sudah saya lakukan."
Dielusnya lembut punggung bergetar Hamna. "Kita sama-sama belajar untuk berdamai dengan takdir ya, Na. Kamu benar-benar ikhlas dan rida menyerahkan putri kamu untuk saya rawat?"
Hamna mengangguk pelan. "Insyaallah, Bu."
Pelukan di antara keduanya terurai. "Saya seperti melihat diri Hanin ada pada kamu, Na. Pelukan tadi seakan mengobati kerinduan saya pada dia."
Hamna tersenyum lega dalam tangisnya. "Ibu bisa melakukan itu setiap waktu. Meskipun saya bukan Hanin, tapi saya senang kalau hal itu bisa mengobati kerinduan yang Ibu rasa."
Hamidah mengangguk tanpa ragu. "Tadi kamu mau minta apa, Na? Dari tadi nggak jadi terus."
"Kalau boleh minta, tolong berikan nama dengan dua suku kata berawalan huruf H dan R. Supaya, nanti saya mudah mengenali putri saya."
"Hanya itu? Kamu masih bisa menemui dia sesuka hati kamu, Hamna."
Hamna menggeleng kecil. "Jika saya melakukan itu, khawatir akan timbul ketidakikhlasan dalam hati saya. Sekarang saya bisa mengatakan rida, nggak tahu beberapa menit ke depan akan seperti apa. Hati manusia mudah untuk dibolak-balikkan."
"Saya hanya ingin menyusui dan menggendongnya, untuk yang pertama dan terakhir. Karena saya tidak yakin, hati saya akan sebulat dan sekuat ini sampai kapan. Silakan Ibu bawa putri saya ke mana pun Ibu mau. Jangan beri tahu saya, terkait apa pun tentangnya karena saya takut akan goyah dan malah berubah pikiran untuk kembali mengambilnya."
"Saya tidak mau dicap sebagai seseorang yang tidak amanah, yang ucapannya tidak dapat dipercaya. Maka dari itu saya melakukan hal ini. Mungkin nanti beberapa tahun yang akan datang, Allah bisa mempertemukan saya dan dia, dan pada saat itu kami sudah sama-sama berdamai dengan takdir. Itu jauh lebih baik, walau mungkin akan ada sedikit kebencian di hati dia, merasa tidak diinginkan karena orang tua kandungnya sendiri memberikan dia pada orang lain."
"Namun itulah yang dinamakan dengan konsekuensi. Ada harga yang harus saya bayar mahal, atas kelalaian yang sudah saya lakukan. Saya titipkan putri saya pada Ibu ya," tukas Hamna diakhiri sunggingan tipis.
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 02 Februari 2024
Gimana part kali ini? Feel-nya nyampe nggak sih? Kalau kurang bilang ya. ☺️🤭
Jadi, masih mau digasskeun?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Kedua
SpiritualSEQUEL RINTIK SENDU || SELESAI PART MASIH LENGKAP Disatukan bukan karena sama-sama menginginkan, melainkan karena keadaan yang membuat keduanya harus hidup saling berdampingan. Dua kepala yang pada hakikatnya saling bertolak belakang, dipaksa haru...