بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
ORANG-ORANG kerapkali mendamba sosok pendamping yang sempurna, tanpa cacat dan cela. Seakan lupa, dan tidak berkaca bahwasannya dia pun memiliki sisi kurang yang mungkin tidak bisa dengan mudah diterima oleh pasangannya kelak.
Pernikahan bukan ajang tentang berlomba-lomba untuk terlihat bahagia dan sempurna, seolah ingin memamerkan pada khalayak ramai ihwal kata 'ideal' yang kerapkali diagung-agungkan.
Karena nyatanya 'ideal' saja tidaklah cukup. Pondasi rumah tangga harus dikokohkan setiap harinya, dirawat dengan penuh kasih dan cinta, agar tercipta sakinah, mawadah, dan warahmah tentu saja.
"Meng-organize barang adalah sebuah tutorial menyusahkan diri sendiri," komentar sang istri yang lebih memilih untuk duduk nyaman di sofa seraya menonton televisi.
"Menyusahkan saya, tapi memudahkan untuk kamu."
"Saya, kan nggak nyuruh!"
Hamzah menghela napas singkat. "Memang, tapi saya bosan kalau setiap pagi harus mendengar suara teriakan kamu, cari inilah, itulah, apalagi kalau kita pas sama-sama hectic."
Hamna mengelus perut buncitnya sebelum berujar, "Aa, kan tahu saya ini orangnya berantakan."
"Maka dari itu saya yang mencoba untuk membenahi, supaya kita sama-sama enak. Nggak harus ribut dan adu mulut hanya karena hal sepele."
"Iya, iya, deh, terserah Aa saja toh yang ribet juga Aa, kan?"
Hamzah mengangguk singkat. "Iya, kamu lebih baik duduk manis di sana. Yang anteng, jangan tantrum dan ganggu saya."
Seketika itu juga Hamna mendelik tajam. "Emangnya saya bocah apa? Tantrum Aa bilang?!"
"Ada yang salah?"
Hamna mendengus sebal. "Amit-amit jabang bayi, jangan sampai anak-anak saya mirip bapaknya. Nyebelin banget emang Aa ini!"
Tanpa dosa Hamzah malah tertawa puas. "Malah bagus kalau mirip bapaknya, jadi orang-orang nggak akan mempertanyakan itu anak siapa. Yang bahaya itu kalau anak-anak saya mirip tetangga, bukan begitu?"
"Enak saja, ya harus mirip saya, lha. Saya yang ngandung selama sembilan bulan, ngelahirin mereka, terus nyusuin juga. Saya yang lebih banyak berjuang, berkorban, dan berkontribusi!"
"Makanya kamu jangan kentara banget kalau ada hal yang nggak disukai dari saya. Biasa-biasa saja," sahut Hamzah enteng.
"Nggak segampang itu kali!"
"Ya, sudah kalau gitu siapkan mental dari sekarang kalau benar anak-anak saya plek ketiplek Hamzah banget."
"Dih, ngarep!" sahutnya seraya melempar keripik kentang yang tengah dia nikmati.
Hamzah memungut keripik kentang yang jatuh tepat di depannya, lalu membuang ke tempat sampah. "Kamu ini, Na, kalau emang mau ngasih ya disuapi suaminya, bukan malah dilempar asal kayak gitu. Caranya gini nih, Na," katanya tanpa izin memegang tangan kanan Hamna lalu memasukan dua potong keripik kentang ke dalam mulutnya sendiri.
Hamna mendelik tak terima. "Dihh, modusnya bisa banget ya. Mana jorok lagi!"
"Membersihkan jari dengan cara seperti ini termasuk sunnah, Na. Bukan jorok," ralat Hamzah diakhiri cengiran khas.
"Sunnah kalau itu tangan sendiri, ini, kan tangan saya A Hamzah!"
"Protes mulu perasaan kamu, Na."
Dengan sebal Hamna mencubit pinggang suaminya. "Makanya jangan modus terus!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Kedua
SpiritualSEQUEL RINTIK SENDU || SELESAI PART MASIH LENGKAP Disatukan bukan karena sama-sama menginginkan, melainkan karena keadaan yang membuat keduanya harus hidup saling berdampingan. Dua kepala yang pada hakikatnya saling bertolak belakang, dipaksa haru...