بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
HAMZAH melantunkan azan dan iqamah di samping telinga putra dan putrinya secara bergantian. Sepasang bayi kembar yang sangat dia nanti-nantikan akhirnya lahir ke dunia. Melengkapi keluarga kecilnya yang kebetulan tengah dirundung duka.
Cairan bening di sudut mata meluncur bebas begitu saja, terlebih saat dia menggendong putri kecilnya yang lahir lima menit lebih dulu dibanding sang putra. Bayi dengan berat 2.3 kg itu terlihat sangat mungil dalam gendongan tangan lebar Hamzah.
"Sudah, Pak?" tanya suster berhasil menyentak Hamzah.
Hamzah hanya mengangguk lantas kembali menyerahkan putri pertamanya pada tenaga medis. Ada keengganan untuk beranjak dari ruangan tersebut, dia masih sangat ingin berlama-lama di sana.
Namun, hal itu jelas tidak bisa sebab bayi yang baru saja lahir haruslah diobservasi selama kurang lebih 6 jam di ruangan khusus. Terlebih bagi putra dan putrinya yang memang lahir prematur.
"Ham," panggil Anggi saat sang putra baru saja duduk di sampingnya.
Hamzah hanya menoleh sekilas. "Jangan bahas sesuatu yang tidak perlu."
Ditepuknya lembut pundak Hamzah. "Selalu ada risiko yang harus kita tanggung dari sebuah kelalaian, bukan?"
"Iya, tapi bukan dengan cara seperti ini!"
"Lantas harus dengan cara apa, Ham. Menyerahkan kamu atau Hamna ke penjara, begitu?"
Hamzah menjambak frustrasi rambutnya.
"Mama tahu kamu sangat amat keberatan karena Mama pun sama. Terlebih saat melihat perjuangan Hamna untuk melahirkan putra-putrinya, tapi kita sudah bersepakat untuk menyerahkan salah satunya, bukan?"
"Mama yang bersepakat, bukan Hamzah!"
Anggi terdiam beberapa saat. "Kesepakatan itu ada karena kelalaian yang diperbuat Hamna. Kalau seandainya dia bisa lebih menjaga Haleeza, mungkin kondisinya nggak sekacau sekarang."
"Kepergian Haleeza itu musibah, Ma. Nggak ada unsur kesengajaan."
Anggi mengangguk paham. "Iya, Mama tahu. Tapi, seperti yang sudah Mama katakan, ada risiko yang harus ditanggung dari sebuah kelalaian."
"Bagaimana kalau kondisinya di balik. Mama yang berada di posisi Hamna? Tengah hamil besar, bahkan ternyata saat itu dia pun sedang dilanda kontraksi tapi masih mau mengantar putri sambungnya berenang. Menjaga dan mengawasi anak seusia Haleeza yang sedang aktif-aktifnya, di tengah kondisi yang nggak mudah. Ditambah dengan kabar kematian Haleeza, dan dia pun harus melahirkan dini karena ketuban yang pecah sebelum waktunya. Lantas saat berhasil berjuang untuk melahirkan, dia pun harus kehilangan salah satu buah hatinya. Apa Mama nggak bisa membayangkan berada di posisi Istri Hamzah?!"
"Kalau Mama tanya, apa Hamzah kecewa atas kelalaian yang dilakukan Hamna? Jawabannya jelas iya, tapi Hamzah sadar kalau apa yang terjadi saat ini memang sudah kehendak Allah. Takdir yang nggak bisa kita pungkir. Mau Hamzah bersikeras menyudutkan Hamna pun, nggak akan bisa mengembalikan Haleeza. Meksipun Haleeza hanya sekadar keponakan bagi Hamzah, tapi dia sudah Hamzah anggap seperti anak kandung sendiri. Dia tumbuh dalam asuhan Hamzah, kepergian Haleeza merupakan mimpi paling buruk."
Kepalanya tertunduk, mata yang sedari tadi memerah mulai mengalirkan cairan bening. "Kehilangan Haleeza sudah cukup menyakitkan, lantas sekarang Hamzah harus merelakan bayi mungil yang baru saja dilahirkan Hamna. Yang bahkan, ibu kandungnya saja belum melihat rupa sang buah hati. Apa yang harus Hamzah katakan saat nanti menemui Hamna?"
Anggi memeluk Hamzah begitu erat, dia tak bisa banyak berkata-kata karena sebetulnya dia pun merasakan keberatan yang serupa dengan sang putra.
"Hamzah lebih rida dipenjara, sekalipun seumur hidup yang penting Hamna bisa berkumpul bersama dengan dua buah hatinya," lirihnya.
Anggi menggeleng keras. "Keputusan kamu justru akan memperburuk keadaan, Ham. Merawat bayi kembar seorang diri tanpa dukungan suami bukan perkara mudah, apalagi Hamna yang belum berpengalaman. Opsi yang Mama tawarkan jauh lebih masuk akal, kalian masih bisa menikmati peran sebagai orang tua, meskipun hanya dengan satu anak."
Dielusnya lembut puncak kepala Hamzah. "Kita sama-sama tahu bagaimana keluarga Haikal, insyaallah putri kamu berada dalam asuhan yang tepat."
"Asuhan yang paling tepat ialah berada di tangan orang tua kandungnya, Ma!"
Anggi menghela napas berat. "Ham, tolong jangan mempersulit keadaan."
"Mempersulit Mama bilang? Justru Mama yang memperunyam keadaan!"
"Kenapa kalian malah di sini? Hamna baru dipindah ke ruang rawat itu."
Perdebatan di antara sepasang ibu dan anak itu terhenti saat menyadari kehadiran Lingga.
"Kenapa muka kalian pada tegang-tegang? Kedua cucu Ayah baik-baik, kan?" tanya Lingga kemudian.
"Hamzah ke ruangan Hamna dulu, Yah," katanya tanpa menjawab pertanyaan sang ayah.
Langkahnya terasa berat, tapi dia tak bisa menunda lebih lama lagi untuk menemui sang istri.
"Na," panggil Hamzah saat membuka pintu dan mendapati Hamna yang tengah berbaring di atas ranjang.
Hamna tersenyum samar. "Aa ke mana aja? Saya nyariin tahu dari tadi."
Hamzah berjalan mendekat dan duduk di kursi samping brankar. "Kamu gimana sekarang? Ada yang sakit?"
Hamna menggeleng. "Kata Ibu bukan sakit, tapi nikmat."
Hamzah terkekeh kecil. "Nikmat tapi sampai meraung-raung, bahkan nyakar-nyakar saya ya, hm?"
Dia pun meringis kecil. "Refleks itu, A. Kata Ibu pamali kalau bilang sakit pas lahiran. Mana coba lihat? Emang apa yang saya cakar?"
Hamzah menunjukkan bekas cakaran istrinya yang masih terlihat jelas. "Bapak sama Ibu mana?"
"Maafin saya ya, A, nanti saya obati deh sebagai bentuk tanggung jawab. Bapak sama Ibu baru aja pulang, mau pamit tapi Aa-nya nggak nongol-nongol. Oh, ya tadi ketemu Ayah nggak? Kasihan tahu dari tadi Ayah nyariin Aa sama Mama."
"Sudah ketemu kok. Maaf ya, Na bukannya saya fokus sama kamu malah keluyuran nggak jelas."
"Nggak papa, ada Bapak sama Ibu kok tadi yang dampingi saya pas keluar dari ruang bersalin sampai ke ruang rawat. Papa juga yang bantu urus berkas-berkasnya ke administrasi. Emangnya Aa dari mana aja? Aa pergi sama Mama?"
Hamzah menggenggam kedua tangan istrinya lembut. "Na ada yang ingin saya sampaikan sama kamu."
Hamna tersenyum tipis. "Apa? Mau bilang makasih pasti ya karena saya berhasil lahiran normal tanpa jahitan. Mana anak kita kembar pula, sepasang lagi."
"Saya nggak menerima ucapan terima kasih tanpa embel-embel hadiah ya, A Hamzah," cerocosnya terlihat sangat sumringah.
"Emangnya mau hadiah apa, hm?"
"Ish, nggak inisiatif banget. Masa iya malah balik tanya, nggak surprise dong namanya."
Hamzah mengacak gemas puncak kepala Hamna. "Saya nggak ahli kasih-kasih kejutan kayak gitu. Kamu tinggal bilang aja, maunya apa, perlunya apa, insyaallah nanti akan saya penuhi."
"Nggak jadi mau hadiah kalau gitu. Mau minta waktu luang Aa aja buat bantuin saya ngurus bayi kembar kita. Harus begadang sama-sama ya? Jangan sampai deh Aa tidur pulas sendirian, sedangkan saya merana mengurus anak-anak kita. Oh, ya tadi Aa mau ngomong apa?"
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 26 Februari 2024
Maaf lama up ya guys, akunya sok sibuk banget ini 🤧😂 ... Kalau ada typo tolong diingatkan, karena ya ini ngetik sambil nahan ngantuk, habis shift malam guys. Jadi harap maklum. 🤣😂
Kuyy lah diramaikan dulu lapaknya, insyaallah diusahakan up cepet kalau ramai.
Gaskennn??
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Kedua
SpiritualSEQUEL RINTIK SENDU || SELESAI PART MASIH LENGKAP Disatukan bukan karena sama-sama menginginkan, melainkan karena keadaan yang membuat keduanya harus hidup saling berdampingan. Dua kepala yang pada hakikatnya saling bertolak belakang, dipaksa haru...