بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
HALEEZA terlihat begitu riang, bahkan sangat amat antusias saat tahu akan diantar berenang oleh Hamna. Bocah kecil itu sampai tidak nyenyak tidur, karena saking tidak sabarnya untuk menyambut hari esok.
"Yakin nggak ada yang ketinggalan, Na?" tanya Hamzah untuk yang ke sekian kalinya.
"Sudah, Aa, aman pokoknya."
"Za jangan buat Buna repot ya, jadi anak baik dan penurut. Kasihan Buna, Za paham, kan?" ungkap Hamzah seraya merendahkan tubuhnya agar setara dengan tinggi Haleeza.
Haleeza pun mengangguk patuh. "Iya, Papa."
Dengan gemas Hamzah mengacak puncak kepala Haleeza yang tertutup hijab berwarna merah muda. "Anak pintar, Za jangan terlalu lama main airnya, oke?"
"Iya ih, Papa bawel deh!"
Mendengar hal tersebut Hamna tertawa puas. "Papa kamu emang kelewat perhatian, Za. Saking perhatiannya sampai kayak orang paranoid."
Hamzah geleng-geleng dibuatnya. Sedangkan Hamna dan Haleeza kompak menampilkan cengiran.
Hamzah pun berdiri tegak lalu beralih pada sang istri. "Kamu hati-hati ya, Na, jangan grasak-grusuk kalau jalan. Harus pelan-pelan, jangan terlalu ke pinggir kolam, licin, Aa nggak mau kamu teledor."
Hamna menarik tangan Hamzah agar berada di atas perutnya. "Papa nggak usah khawatir, semua akan baik-baik aja," katanya menirukan suara anak kecil.
Dikecupnya lembut kening Hamna lantas berkata, "Kamu lagi hamil besar, Na, hal yang sangat amat wajar kalau saya mengkhawatirkan kalian. Apalagi kamu juga harus mengawasi Haleeza yang lagi aktif-aktifnya."
"Aa terlalu berlebihan. Kita akan aman, kan, Za?" sahutnya meminta pembelaan.
Haleeza mengacungkan dua jempolnya tanda setuju.
"Kabari kalau sudah mau pulang," titahnya.
"Oke siap, Pak Suami," sahutnya seraya hormat.
"Apa petuahnya ada lagi?" sambung perempuan hamil tersebut.
Hamzah terkekeh kecil, lantas menggeleng pelan. "Nggak ada, selain fii amanillah."
Hamna pun mengangguk patuh.
"Nanti pulangnya kita mampir ke rumah Mama dulu," ujar Hamzah saat mereka sudah berjalan beriringan keluar rumah.
Secara spontan Hamna tertawa puas. "Dalam rangka membujuk Mama yang tengah merajuk ya, A?"
"Kamu ini, Na, suka banget ceng-cengin Mama. Beliau itu cemburu, cucunya nempel banget sama kamu, apa-apa harus sama kamu terus," ungkapnya lalu membukakan pintu mobil untuk Hamna.
"Bukan hanya cucunya yang nempel ke saya, anak kesayangannya juga nempel banget udah kayak perangko," cetus Hamna diakhiri senyum penuh kebanggaan.
"Kalau itu nggak usah dibahas, lemnya kebanyakan sampai susah banget dipisahkan."
Dicoleknya salah satu pipi Hamzah. "Bucin nih ceritanya, hm?"
Hamzah menaikan satu alisnya. "Sudah berani mulai pegang-pegang duluan kayaknya nih, hm?"
Refleks Hamna pun menarik kembali tangannya, tapi dengan cepat ditahan Hamzah.
"Pipinya jangan sekadar dicolek dong, dicium kalau bisa," godanya.
"Apaan sih! Ada Haleeza itu di belakang, lihatin kita."
"Za tutup mata dulu, Sayang," pinta Hamzah tanpa dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Kedua
SpiritualSEQUEL RINTIK SENDU || SELESAI PART MASIH LENGKAP Disatukan bukan karena sama-sama menginginkan, melainkan karena keadaan yang membuat keduanya harus hidup saling berdampingan. Dua kepala yang pada hakikatnya saling bertolak belakang, dipaksa haru...