بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
MASA di mana dia mampu mempersembahkan gelar sarjana akhirnya tiba, kepalanya terangkat sempurna. Dengan bangga dan senyum lebar dia persembahkan gelar tersebut untuk sang mertua.
Langkah Hamna terasa sangat ringan, terlebih saat menerima ijazah sebagai bukti kelulusan. Tarikan di kedua sudut bibirnya pun kian melebar kala disambut hangat oleh suami serta sang buah hati yang sedari tadi setia mendampingi.
"Baarakallah fii ilmi, Nona," tutur Hamzah setelah menghadiahi Hamna dengan sebuket bunga dan elusan lembut di puncak kepala.
Hamna terkekeh kecil lantas berujar, "Makasih banyak lho."
Hamzah pun mengangguk lalu menggandeng sang istri untuk meninggalkan aula, mereka jalan berdampingan keluar untuk menemui Anggi serta Lingga yang memang sudah menunggunya.
Refleks Hamna berlari saat matanya mendapati Anggi, dia memeluk sang mertua begitu hangat. Anggi pun membalasnya tak kalah erat, bahkan menghujani Hamna dengan banyak kecupan saat mereka selesai berpelukan.
"Jangan lari-larian, Nona," peringatan Hamzah sama sekali tak diindahkan oleh sang istri.
Perempuan itu sudah sangat tidak sabar untuk bertemu dengan Anggi. Dari pancaran matanya terlihat jelas bahwa dia teramat antusias.
Hamna melepas topi toga dan memasangkannya di atas kepala Anggi. "Gelar sarjana ini Hamna persembahkan untuk Mama," katanya.
"Berasa Mama yang diwisuda lagi ini mah," cetus Anggi diiringi kekehan.
Semuanya tergelak mendengar guyonan yang dilayangkan Anggi. Aura kebahagiaan benar-benar terpancar dengan begitu apik.
"Aa minta tolong boleh?" pinta Hamna begitu lembut.
"Boleh atuh."
"Fotoin saya sama Mama ya," katanya diakhiri cengiran.
Hamzah mengacak gemas puncak kepala Hamna. "Oke siap, Nona Muda."
"Hamizan turun dulu ya, Papa mau menjalankan tugas dari Ibu Negara," sambungnya saat sudah menurunkan Hamizan dari gendongan.
Bocah kecil yang kini sudah menginjak usia satu tahun setengah itu hanya mengangguk patuh, dan berdiri tak jauh dari sang ayah.
Hamzah mengeluarkan kamera dalam tasnya, dia pun menginstruksi istri serta sang ibu untuk berpose menghadap lensa kamera, lantas mengambil beberapa gambar.
"Zan mauuu, Una," pintanya memohon seraya menarik gamis yang Hamna kenakan.
Hamna tertawa kecil lalu menggendong putranya. "Hamizan mau ikut foto sama Buna?"
Hamizan pun mengangguk semangat dengan senyum lebar.
Merasa gemas, Hamna menghadiahi putranya dengan banyak kecupan. Ketiganya pun berfoto dalam satu bingkai yang sama dengan senyum yang mengembang cerah.
"Ayah ikutan ah," seru Lingga ikut bergabung.
Hamzah hanya mampu geleng-geleng melihat tingkah sang ayah yang terlihat begitu antusias. Statusnya sudah seperti fotografer sungguhan yang wajib mengabadikan setiap momen tanpa ada yang terlewat satu pun.
"Hamizan kasih ke Ayah, Na, kamu jangan gendong Hamizan terlalu lama," tegur Hamzah yang langsung dipatuhi Hamna.
"Shalih-nya Buna sama Opa ya, Nak?" bujuknya.
Hamizan malah melingkarkan tangannya di leher Hamna, bocah kecil itu enggan untuk turun dari gendongan sang ibu.
Dengan lembut Hamzah berusaha mengambil alih Hamizan. "Hamizan sama Papa ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Kedua
SpiritualSEQUEL RINTIK SENDU || SELESAI PART MASIH LENGKAP Disatukan bukan karena sama-sama menginginkan, melainkan karena keadaan yang membuat keduanya harus hidup saling berdampingan. Dua kepala yang pada hakikatnya saling bertolak belakang, dipaksa haru...