RS | Part 29

249 20 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

± 1 TAHUN KEMUDIAN

"TAHU nggak sih, Na untuk bisa sampai di titik sekarang kita harus melewati banyak fase dengan segala bentuk drama kehidupan," ujar Hamzah dengan pandangan lurus ke depan, tapi tangannya setia merangkul bahu Hamna.

Hamna pun mengangguk setuju, dia letakkan kepalanya di pundak Hamzah, mendongak sekilas lantas berucap, "Membina rumah tangga memang nggak semudah yang dibayangkan, bahkan sangat jauh dari perkiraan. Saya beruntung bisa berumah tangga bersama Aa. Entah akan bagaimana jadinya kalau dulu saya bersikeras menolak tawaran gila Aa untuk menikah."

Hamzah kian mengeratkan pelukannya, tanpa segan dia pun menghadiahi kecupan singkat di puncak kepala Hamna. "Laki-laki waras mana yang nekad narik tamu undangan untuk dijadikan mempelai perempuan. Rasanya hanya saya saja, kan?" sahutnya diakhiri kekehan.

Hamna tertawa dibuatnya, tangan yang semula bersidekap dada kini beralih untuk melingkari pinggang Hamzah. "Limited edition, hanya Aa satu-satunya."

Di penghujung malam mereka menikmati kebersamaan dengan berhiaskan bulan dan bintang yang begitu terang benderang. Hawa dingin yang menyeruak ke tulang, tak dijadikan persoalan. Sebab, hanya di waktu-waktu seperti inilah keduanya bisa saling berbagi cerita.

Memiliki waktu khusus walau hanya sekadar berbincang santai di balkon kamar, ternyata jauh lebih berkesan. Deeptalk memang sangat penting, terlebih bagi seorang istri yang sudah menghabiskan waktunya untuk mengurus rumah serta anak.

Rasa lelah yang dirasa, mendadak sirna jika suami berkenan untuk meminjamkan telinganya.

"Besok adalah hari penting untuk saya, karena akhirnya saya bisa memenuhi sembilan syarat yang dulu pernah Mama ajukan. Temani saya wisuda ya?"

"Tanpa kamu minta pun saya akan jadi garda terdepan, Nona."

"Saya harap setelah ini hubungan saya dan Mama kian membaik, kian harmonis, dan nggak ada drama lagi."

"Aamiin, insyaallah. Akan saya pastikan kamu jadi mantu idaman Mama selama-lamanya. Saya selalu melangitkan doa agar Mama bisa memberikan cinta dan kasih sayang secara utuh untuk kamu, istri hebat saya."

"Istri hebat ya, bukan istri idaman?" Alisnya terangkat satu dengan kekehan ringan.

Hamzah mengacak gemas puncak kepala Hamna. "Kamu itu sudah lebih dari idaman, istri hebat paling ideal. Di mata saya kamu yang terbaik."

"Makin bertambah umur, gombalannya makin menjadi ya."

"Jangan bawa-bawa umur atuh, Nona."

Tawa Hamna kian pecah tak terbendung. "Nggak papa kita nggak seumuran, yang penting kita bisa bersama seumur hidup."

Hamzah geleng-geleng lalu mengecup salah satu pipi Hamna tanpa izin. "Jago ya sekarang istri saya gombalnya."

Hamna berlagak menghapus bekas kecupan Hamzah. "Nggak sopan, modusnya nggak ilang-ilang!"

"Jangan sok jual malah gitu. Kamu suka, kan kalau saya modusin, hm?"

"Saya suka dimodusin? Yang bener aja. Kan emang iya!" sahutnya lalu berlari untuk memasuki kamar.

"Jangan lari, Nona!" peringat Hamzah mengejar langkah Hamna.

"Biarin, kejar kalau bisa!" sahutnya tak mau kalah, bahkan dia pun sampai menjulurkan lidah mengejek Hamzah.

Hamzah geleng-geleng kepala dibuatnya. Beginilah jika menikah dengan perempuan yang usianya lebih muda, jiwa kekanak-kanakannya bisa muncul kapan saja, bahkan tidak mengenal waktu. Tapi dia sama sekali tak merasa keberatan sama sekali untuk memenuhi inner child yang dimiliki sang istri.

"Hayo lho, ketangkep kamu, Nona," ujar Hamzah seraya memeluk Hamna dari belakang.

Dia pun mendongak dan tanpa diduga mengecup singkat pipi kanan Hamzah. "Lepas pelukannya, ya?"

Hamzah dibuat membatu seketika, bahkan dia sama sekali tak berkedip mendapat serangan mendadak yang tidak disangka-sangka. Sebab, istrinya itu sangat jarang melakukan hal-hal sejenis ini. Dia cukup takjub sekaligus tak percaya.

"Lepas atuh, A, adik bayinya Hamizan nggak bisa napas kalau dipeluk seerat ini," bisik Hamna kian membuat Hamzah melongo.

"Hah? Gimana maksudnya?"

Hamna terkikik geli. Raut wajah yang ditampilkan Hamzah terasa lucu di matanya. Dia gerakan tangan Hamzah di atas perutnya lantas berkata, "Ada yang kembali menghuni rahim saya, insyaallah dalam waktu dekat Hamizan akan menjadi abang."

"Usia kandungan saya sudah memasuki trimester kedua, tepatnya sudah empat bulan. Bismillah semoga saja perempuan, ya," imbuhnya penuh harap.

"Empat bulan? Kenapa baru bilang sama saya sekarang?" tanyanya seraya memutar tubuh Hamna agar berhadapan dengannya.

"Ada sedikit kekhawatiran, terlebih kehamilan saya sekarang nggak sesuai planning. Kita sudah bersepakat untuk menjaga jarak paling nggak dua sampai tiga tahun untuk kembali punya anak. Hamizan baru berusia 1.5 tahun, dan Mama juga sudah mewanti-wanti untuk nggak hamil dulu. Tapi---"

"Kenapa kamu sampai punya pemikiran seperti itu, Nona? Kita memang punya rencana, tapi Allah punya kuasa. Seharusnya kita bersyukur karena Allah kembali memberi kepercayaan-Nya untuk kita. Alhamdulillah, Nona," potong Hamzah cepat.

"Aa nggak marah sama saya?"

Alis Hamzah justru terangkat satu. "Kenapa pula saya harus marah? Seharusnya kamu yang marah sama saya, karena sudah mengacaukan planning kita. Saya dalang utamanya."

Tanpa ragu Hamna memeluk Hamzah. "Justru saya senang dengan kehamilan ini, jarak Hamizan dan adiknya nggak terlalu jauh. Nanti kalau mereka besar, pasti seperti anak kembar."

Mendengar hal tersebut Hamzah kian mengeratkan pelukan. "Saya tahu kamu masih sangat berat untuk terlepas dari bayang-bayang putri kita. Tapi, saya harap kamu nggak kecewa kalau semisal nanti anak yang saat ini kamu kandung bukan berjenis kelamin perempuan. Ikhlas ya, Nona?"

Air mata Hamna tumpah seketika. "Saya merindukannya, sangat amat merindukannya."

Dihapusnya linangan air mata Hamna. "Mau menemuinya? Saya akan menghubungi Bu Hamidah."

Hamna menggeleng lemah.

"Mau sekeras apa pun kita berusaha untuk lupa, nyatanya kita akan semakin mengingatnya. Kita harus ikhlas dan sabar, insyaallah kelak kita akan memetik buah dari kesabaran tersebut."

"Kita sama-sama kehilangan, tapi inilah takdir. Kita belajar untuk lebih bisa melapangkan hati, insyaallah buah hati kita berada dalam pengasuhan yang tepat. Kita temui dia ya? Hanya sekadar melihat dari jauh, mungkin itu bisa mengobati kerinduan kita."

"Saya takut menginginkan yang lebih dari itu, saya takut nggak bisa mengontrol diri, dan malah mengkhianati perjanjian yang sudah sama-sama kita sepakati," cicitnya begitu lirih.

Hamzah tak lagi bisa berkata-kata, dia pun merasakan hal yang serupa. Sakitnya sebuah kehilangan, tapi harus dipaksa untuk ikhlas dan sabar. Sulit, sangat sulit.

Dia berusaha untuk melebarkan senyum. "Jika melawan luka kian membuat kita terluka, mari kita merawat luka untuk memulihkan asa. Meskipun akan tetap berbekas, tapi setidaknya bisa mengering karena kita merawat luka itu dengan begitu baik dan bijak."

"Kamu pernah mengatakan pada saya tentang filosofi rintik sendu. Sekarang, mari kita berdamai dengan segala kesenduan. Seperti yang dulu pernah  Nona katakan, itu hanya sekadar rintik yang akan dengan mudah hilang. Nona mau, kan?"

Hamna hanya mengangguk kecil.

"Biarkan rintik kesenduan membersamai kita, tapi jangan pernah jadikan itu sebagai penghalang utama. Kita harus senantiasa berusaha dan berdoa, saling merawat luka hingga kelak mendatangkan bahagia," tutur Hamzah penuh harap.

Dipegangnya kedua bahu Hamna lembut. "Bahagia saya melihat kamu bahagia. Jadi, dimohon kerjasamanya ya, Nona?"

Hamna mengangguk haru, senyumnya terbit dengan dihiasi linangan air mata.

BERSAMBUNG—

Padalarang, 07 Mei 2024

Masih mau digasskeun nggak nih? Atau cukup sampai di bab ini aja? 😌😅

Rintik Sendu Musim Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang