بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
KEGIATAN Hamzah yang tengah mengemasi barang-barang terhenti kala mendengar penuturan istrinya. Dia pun beranjak untuk menghampiri Hamna yang sedang duduk dengan kaki menggantung di brankar.
"Ngomong apa tadi kamu, Na?"
"Tuh, kan, kebanyakan ngelamun sih," omelnya.
"Kamu ngomongnya bisik-bisik, jangan salahin saya, lha," sela Hamzah tak terima.
Hamna menghela napas singkat. "Saya tahu kalau Aa kepikiran banget sama putri kita, kan. Saya pun sama, tapi ini adalah keputusan yang sudah kita ambil. Mau tidak mau, suka tidak suka, ya harus kita terima dengan lapang dada."
Ditepuknya lembut pundak sang suami. "Nggak usah khawatir, insyaallah kita juga akan punya anak perempuan. Mau berapa, hm?"
Alis Hamzah terangkat satu. "Sok-sokan nanya mau berapa. Yakin? Berubah pikiran lagi, berabe entar saya."
Tanpa dosa Hamna pun tertawa. "Saya serius, tapi kasih jarak ya? Kita fokus dulu sama putra kita, selang dua tahun baru program lagi."
"Na, saya tahu sakitnya melahirkan masih kamu rasa. Jadi, nggak usah terlalu mematok ya, sedikasihnya Allah aja. Saya masih cukup trauma dengan proses persalinan kamu, ini juga keringat dingin masih ada. Saya takut kamu kenapa-kenapa."
"Utututuuu, takut banget kehilangan nih ceritanya?" goda Hamna dengan jahil menjawil dagu sang suami.
"Ya iya atuh, istri saya cuma satu dan itu kamu, kalau kamu kenapa-kenapa saya sama siapa?"
"Secinta itu Aa sama saya, hm?"
"Sudah ada anak padahal, kenapa masih saja dipertanyakan."
"Perempuan itu perlu akan validasi."
"Perlu akan validasi atau haus akan validasi?"
"Kalau haus minum, A Hamzah," sahut Hamna lantas turun dari brankar.
"Cucian kotornya pada ke mana? Kok ini sisa baju-baju bersihnya aja," imbuhnya saat melihat isi tas yang belum rampung dibereskan Hamzah.
"Yang kotor udah Mama bawa pulang atuh, Na."
"Mama yang nyuciin maksud Aa?"
Hamzah pun mengangguk mantap.
"Kok nggak dilarang sih. Itu darah semua, mana ada harta karunnya pula. Malu saya sama Mama," cetus Hamna sedikit mengomel.
"Kamu kayak nggak tahu Mama aja, Na. Tadi pas saya larang, malah saya yang kena omel. Katanya emang sudah jadi kewajiban Mama selaku orang tua saya, karena kamu adalah tanggung jawab saya, dan saya sampai kapan pun akan tetap jadi tanggung jawab beliau."
"Pemikiran Mama juga masih kolot, katanya kalau kain dan pakaian bekas lahiran dicuci sama kamu atau orang tua kamu, beliau harus membayar sebagai bentuk 'upah' dan 'tanggung jawab' karena hal itu merupakan kewajiban pihak laki-laki. Harta karun apa yang kamu maksud memangnya, Na?"
Hamna pun manggut-manggut. "Kenapa nggak Aa yang cuci sendiri?"
"Ditolak mentah-mentah sama Mama. Sudahlah, Na perkara sederhana seperti ini nggak perlu kamu permasalahkan."
Dia pun menghela napas singkat. "Ini bukan soal mempermasalahkan, tapi saya malu atuh, Aa."
"Malu kenapa?"
Hamna sedikit meringis lalu memelankan intonasi suaranya. "Pas saya ngeden, nggak sengaja ada yang keluar dari belakang. Sampai sekarang aja saya malu kalau ketemu dokter sama suster."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Kedua
SpiritualSEQUEL RINTIK SENDU || SELESAI PART MASIH LENGKAP Disatukan bukan karena sama-sama menginginkan, melainkan karena keadaan yang membuat keduanya harus hidup saling berdampingan. Dua kepala yang pada hakikatnya saling bertolak belakang, dipaksa haru...