بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
KONON katanya seiring dengan bertambahnya rasa cinta, perempuan akan semakin emosional. Marahnya merupakan tanda sayang, cerewetnya pun kerap kali diartikan sebagai bentuk perhatian.
Betulkah demikian?
Bahkan tak jarang juga, suka sekali memancing keributan. Dengan kata lain, perempuan tidak suka kedamaian, biang onar, dan tentu saja penguji kesabaran para suami.
Sebuah fakta, yang acap kali disangkal oleh kebanyakan kaum hawa.
Termasuk Hamna.
"Ini masih pagi lho, Na. Bisa direm dulu ngomel-ngomelnya?"
"Nggak bisa!"
Hamzah menghela napas singkat. "Kenapa, Nona? Ada apa, hm?"
"Aa bilangin dong sama Mama, jangan asal ngambil anak saya tanpa izin. Saya panik, pas bangun anak saya tiba-tiba hilang, tahunya digondol Mama. Bilang dulu, kan bisa!"
Hamzah menarik tangan Hamna, meminta istrinya untuk duduk sejenak. "Tenang dulu sebentar, bisa?"
Hamna menggeleng kuat.
Dielusnya lembut puncak kepala Hamna yang tak tertutup hijab. "Mama nggak mau ganggu tidur pulas kamu, tadi putra kita nangis. Digendonglah sama Mama, terus sekalian dimandiin juga."
Hamna menatap penuh rasa tidak percaya. "Kalau nangis, pasti saya yang paling dulu dengar."
Hamzah tersenyum begitu manis. "Kamu kecapekan, Na, akhir-akhir ini sering begadang, kan. Jam tidur kamu berkurang, tadi juga tidur kamu pulas banget. Jangankan Mama, saya aja nggak tega buat bangunin kamu."
"Yang minta Mama buat nginep di sini kamu, kan? Katanya kamu belum mampu untuk merawat putra kita, tanpa bimbingan Mama karena kamu yang masih awam dan harus banyak belajar. Lantas, sekarang kenapa kamu malah seperti ini?"
"Tapi nggak harus sampai memonopoli anak saya, kan bisa?!"
"Memonopoli gimana maksud kamu?"
"Setiap kali anak saya nangis, Mama suka ngambil alih, padahal kondisinya Hamizan sedang ada dalam gendongan saya. Pagi-pagi buta, anak saya suka hilang tiba-tiba, apa-apa Mama yang ngelakuin, termasuk mandiin, bahkan perihal ganti popok pun saya nggak dikasih jatah. Itu anak saya, kenapa porsi saya jauh lebih sedikit."
"Saya meminta Mama tinggal sementara di sini, hanya untuk sekadar membantu sekaligus mengajari saya. Bukan malah jadi seperti ini, A Hamzah!" terang Hamna begitu menggebu-gebu.
"Iya, iya, nanti saya bilang ke Mama ya. Sudah ah, jangan marah-marah terus. Sabar," sahutnya.
Hamna bersidekap dada dan menatap sengit ke arah Hamzah. "Aa selalu belain Mama. Prioritas Aa itu sebenarnya saya atau Mama?"
"Kamu cemburu sama Mama?"
"Ini bukan tentang cemburu, tapi tentang prioritas. Sudah selayaknya seorang suami mendahulukan istrinya, ketimbang ibunya."
Hamzah terkekeh kecil, dia kecup kening sang istri sebentar lantas berujar, "Keliru itu. Kamu dan Mama memiliki hak yang sama, dan saya memiliki kewajiban untuk memenuhi hak kalian berdua. Ini bukan tentang prioritas, atau siapa yang harus lebih dulu saya dahulukan, bukan perkara yang pertama dan kedua."
"Sebagai anak saya berkewajiban untuk berbakti pada ibu saya, karena ada hak Mama yang harus saya tunaikan. Dan sebagai seorang suami, saya pun berkewajiban untuk memenuhi hak kamu sebagai istri. Sebisa mungkin saya berusaha untuk adil, baik dalam hal sikap ataupun cara saya dalam men-treatment kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Kedua
SpiritualSEQUEL RINTIK SENDU || SELESAI PART MASIH LENGKAP Disatukan bukan karena sama-sama menginginkan, melainkan karena keadaan yang membuat keduanya harus hidup saling berdampingan. Dua kepala yang pada hakikatnya saling bertolak belakang, dipaksa haru...