بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
PENASARAN dengan apa yang ditonton sang istri, Hamzah pun mengintip layar gawainya. Dia tersenyum saat mendapati Hamna tengah melihat potongan dari kajian online yang bertebaran di sosmed.
"Kamu ini nonton kajian tapi kok senyum-senyum sendiri. Kenapa sih, Na?" tanyanya.
Hamna pun melirik sekilas, melepas headset bluetooth yang menempel apik di telinga lalu berkata, "Saya lagi scroll reels eh nemu video ini. Aa mau dengerin nggak?"
Hamzah pun mengangguk, lalu Hamna menyalakan dengan volume yang besar. Mereka menyaksikan potongan kajian berdurasi 1 menit tersebut secara bersama-sama.
"Kalau ditontonnya bareng sama Mama pasti seru ya, A?" ocehnya saat setelah selesai menyaksikan video singkat tersebut.
"Bukan seru, tapi nyari penyakit namanya."
Hamna tertawa tanpa dosa. "Berasa ada yang bela kalau saya nonton ceramahnya Mamah Dedeh. Cocok banget kalau beliau diangkat jadi duta pembela menantu-menantu kurang beruntung."
"Aa nggak menapik fakta, pada nyatanya menantu dan mertua emang nggak bisa hidup berdampingan kalau dua-duanya sudah beda aliran. Kamu dulu pernah bilang, kan 'Mama itu baik, tapi ...,' baiknya mertua itu selalu diikuti dengan kata 'tapi'. Betul?"
"Iya emang, kenapa? Aa kesinggung?"
Hamzah menggeleng. "Nggak, karena Aa sadar kalau Mama sama kamu sama-sama keras kepala dan ngeyel. Aa nggak ada di pihak mana pun. Repot, kalau dihadapkan dengan pilihan antara istri atau ibu. Kalian punya tempat masing-masing, dan seharusnya nggak usah saling bersinggungan satu sama lain."
"Ngomong doang sih gampang, tapi praktiknya? Aa kayak nggak tahu Mama aja, kentara banget beliau itu takut kesaing sama saya. Padahal, saya juga sadar diri, sekarang saya lebih suka ngalah, kan sama Mama?"
Hamzah mengangguk paham. "Iya, sekarang kamu kalau diomelin Mama lebih banyak manut-manut, nggak nyela kayak dulu pas awal-awal kita nikah. Tapi, itu juga kalau kamunya lagi sadar, kalau lagi kesambet nggak jarang kalian suka tempur dan adu mulut."
Hamna meringis kecil. "Emang bowleh sejujur itu, A?"
Hamzah terkikik dibuatnya. "Jujur jauh lebih baik."
"Untung saya hanya diuji oleh mertua, nggak diikuti oleh pengikutnya," ujar Hamna.
"Pengikutnya gimana, Na?"
"Semacam ipar, bibi, dan uwa yang punya sifat sejenis kayak Mama. Satu aja ngerusak mental, apalagi kalau banyak. Alhamdulillah, masih bersyukur saya."
Hamzah menahan senyumnya seraya geleng-geleng kepala. "Udah, Na, udah, kamu jangan terlalu ambil hati omongan dan omelan Mama."
Dia pun mengangguk tanpa ragu. "Aa aja bahagia. Seneng, kan punya istri keras kepala dan ngeyel kayak saya? Kenapa Mama yang repot," sahut Hamna begitu jumawa.
"Bahagia, Na, bahagia banget saya punya istri kayak kamu."
"Antara ekspresi muka sama ucapan nggak sinkron. Kelihatan kepaksa banget bilang bahagianya!"
"Emang harusnya ekspresi muka saya bagaimana, Nona?"
Dipanggil 'nona' mendadak salting Hamna. Memang paling bisa, sekarang Hamzah sudah tahu cela untuk membuatnya baper dan mati kutu.
"Tahu ah!" Akhirnya hanya dua kata itulah yang keluar dari mulut perempuan hamil tersebut.
Hamzah geleng-geleng kepala. "Saat saya menjawab qobul, saat itu juga saya sudah menerima kamu secara sepaket. Saya terima cerewetnya, saya terima ketusnya, saya terima judesnya, saya terima ngeyelnya, saya terima keras kepalanya, saya terima---"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Kedua
SpiritualSEQUEL RINTIK SENDU || SELESAI PART MASIH LENGKAP Disatukan bukan karena sama-sama menginginkan, melainkan karena keadaan yang membuat keduanya harus hidup saling berdampingan. Dua kepala yang pada hakikatnya saling bertolak belakang, dipaksa haru...