بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"KULIAHNYA lancar?" tanya sang mertua.
Hamna meneguk sirup yang terhidang di meja terlebih dahulu lantas berkata, "Lancar, Ma."
"Kamu baik-baik aja, kan?" selorohnya seraya menatap Hamna cukup lekat.
Alis Hamna terangkat satu. "Baik, seperti yang Mama lihat."
Terdengar embusan napas lega. "Syukurlah, Na, Mama hanya sedikit khawatir sama kamu."
"Memangnya saya kenapa?"
Anggi hanya tersenyum samar sebagai respons. Lantas dia beralih pada sang cucu yang berada dalam pangkuannya.
Hamna tak ambil pusing akan hal tersebut, baginya sang mertua bertingkah aneh adalah sesuatu yang biasa.
"Hamizan rewel nggak, Ma? Maaf juga karena saya udah ngerepotin Mama," katanya sedikit berbasa-basi.
"Ngomong apa sih, Na. Sama cucu dan mantu sendiri masa repot, ya nggak atuh. Kamu ini ada-ada aja ah."
Hamna sekilas terkekeh.
"Nginep di sini semalam bisa?" pinta Anggi tiba-tiba.
"Kalau saya gimana A Hamzah aja, Ma," sahutnya memilih jawaban paling aman.
Anggi manggut-manggut. "Nanti deh Mama yang ngomong sama Hamzah. Oh, ya kamu udah makan belum? Makan dulu gih, udah Mama siapin."
Hamna mengangguk tanpa ragu. Kalau sudah urusan dengan masalah perut, dia maju paling depan. Tidak ada istilah gengsi dan jaga image, terlebih ditawari langsung oleh sang tuan rumah.
Rezeki tidak boleh ditolak, pamali.
"Mama nggak sekalian?" tawarnya saat hendak berdiri untuk menuju ruang makan.
"Mama nanti, kamu aja duluan. Pasti kamu lebih lapar dari Mama, kan. Makan yang tenang, yang kenyang, Hamizan biar sama Mama," sahutnya diakhiri sunggingan lebar.
Mendengar hal tersebut, Hamna langsung melesat pergi. Serasa diberi lampu hijau, dan jelas saja dia takkan menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Me time terbaik setelah menjadi seorang ibu adalah bisa makan dengan puas, tanpa risau akan gangguan dari buah hati.
Dan sekarang, akhirnya dia bisa mendapatkan jackpot tersebut.
Matanya berbinar kala mendapati nasi yang masih mengepul dengan berbagai macam lauk, yang sudah bisa dipastikan lezat semua. Masakan sang mertua, terbaik nomor dua setelah masakan ibunya.
Dia termenung beberapa saat kala melihat piring yang sudah dipenuhi nasi beserta lauk pauk lengkap. Matanya terasa memanas seketika, teringat akan bayang-bayang masa lalu.
"Kok nggak dimakan? Dilihatin doang nggak akan bikin kamu kenyang."
Hamna terperanjat saat mendengar suara Hamzah.
Refleks dia pun menunduk lalu menghapus cepat cairan bening yang ada di sudut mata. "Dari kapan Aa di sini? Katanya pulang agak sore, kok sekarang tiba-tiba udah jemput saya aja?"
Hamzah menarik kursi yang ada di sisi Hamna lalu duduk dan menghadap sang istri. "Kamu nangis kenapa? Mama buat ulah? Ada ucapan dan tindakan Mama yang buat kamu sakit hati?" tanyanya begitu lembut dan penuh hati-hati.
Sontak Hamna pun menggeleng cepat. "Kenapa Aa berpikiran seperti itu. Ya nggak atuh, Mama baik kok, baik banget malah."
"Ya terus kamu kenapa, Nona?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Kedua
SpiritualSEQUEL RINTIK SENDU || SELESAI PART MASIH LENGKAP Disatukan bukan karena sama-sama menginginkan, melainkan karena keadaan yang membuat keduanya harus hidup saling berdampingan. Dua kepala yang pada hakikatnya saling bertolak belakang, dipaksa haru...