RS | Part 13

264 30 15
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

SUASANA duka sangat amat kental terasa, kediaman Lingga penuh sesak oleh para pelayat. Lantunan surah Yasin semakin riuh diperdengarkan. Anggi terlihat enggan untuk beranjak, dia setia berada di samping sang cucu.

Lain hal dengan Lingga yang tengah sibuk mengurus pemakaman, dia ingin mengebumikan sang cucu tepat di samping mendiang anak serta menantunya.

Sedangkan Hamzah, dia harus lebih melapangkan sabar karena menghadapi orang tua iparnya, yang terus mendesak untuk segera membawa kasus ini ke pihak berwajib.

"Bapak dan Ibu bisa beri saya waktu untuk sejenak bernapas? Putri saya baru saja wafat, bahkan jasadnya belum dikebumikan, lantas sekarang kalian mendesak saya untuk memproses istri saya ke pihak kepolisian. Bisa tolong pahami posisi saya?"

"Kami hanya menuntut keadilan untuk Haleeza. Apa itu salah?! Apa kamu lupa, Ham dengan perjanjian kita saat hak asuh dan perwalian jatuh ke tangan keluarga kalian? Apa kalian lupa, hah?!" sahut Hamidah selaku orang tua Haikal, yang tidak lain merupakan ayah kandung Haleeza.

"Seharusnya saat kamu memutuskan untuk menikah, hak asuh itu jatuh ke tangan kami. Karena nggak ada sosok ibu tiri yang menjelma sebagai ibu peri. Sekarang sudah terbukti, bukan? Haleeza meninggal di tangan istri kamu, Ham!"

"Ada motif apa sampai Ibu menuduh istri saya bersalah dalam kasus ini?!"

Terdengar tawa sumbang yang cukup memekakkan. "Haleeza ada asuransi jiwa kalau perlu kamu ingat. Bisa saja, kan itu yang mendasari tindak kejahatan Hamna? Apalagi keluarga istri kamu bukan berasal dari keluarga ter---"

"Cukup, Bu," potong Hamzah tegas.

Sekalipun dia marah dan kecewa pada Hamna, tapi dia tak ingin mendengar segala tuduhan buruk yang dilayangkan oleh keluarga Haikal. Walau tak dapat dipungkiri, dia pun sempat memiliki pemikiran serupa.

Namun, di depan orang lain dia haruslah tetap menjaga marwah dan kehormatan istrinya. Tak sepantasnya seorang suami ikut menguliti kesalahan sang istri di depan umum. Itu bukanlah sesuatu yang patut untuk dibenarkan, karena jelas-jelas sudah sangat amat keliru.

"Jika kamu tak tega untuk menjebloskan Hamna ke kantor polisi, biarkan kami yang bertindak," tukas Bima akhirnya ikut angkat suara.

Hamzah menggeleng tegas. "Istri saya memang ada di tempat kejadian, tapi pada saat peristiwa itu terjadi dia tidak ada di sana. Dia tengah membeli makanan untuk Haleeza. Ini murni faktor kelalaian, bukan kesengajaan."

"Itu pointnya, sudah tahu tengah mengawasi anak kecil berenang yang bahkan genap tujuh tahun saja belum. Kenapa bisa dia meninggalkan Haleeza begitu saja, hah?!" sengit Bima.

"Sebagaimana perjanjian kita dulu, jika terjadi sesuatu buruk pada Haleeza, kamu dan pihak keluarga harus mempertanggung jawabkannya. Dan sekarang, kami ingin menuntut hak kami," imbuhnya begitu tegas.

Hamzah terdiam, dia mencoba untuk menenangkan segala pikiran yang tumpang tindih tak keruan. Rasa sakit akan kehilangan belum mampu di-manage dengan baik, lantas sekarang dia harus dihadapkan pada posisi yang serba salah.

Kepalanya serasa ingin pecah!

"Surat perjanjian itu sah di mata hukum, bahkan bermaterai. Kamu nggak bisa menyangkal ataupun lari, Ham. Meksipun kami tahu, mau sekeras apa pun menuntut keadilan nyawa cucu kami tidak akan pernah kembali. Tapi, setidaknya kami sudah memperjuangkan hak Haleeza."

"Istri saya tengah hamil besar, bahkan sudah mau memasuki bulannya. Apa Ibu dan Bapak tidak sedikitpun merasa iba serta simpatik?"

"Iba kamu bilang? Apa kabar dengan kami? Haleeza cucu satu-satunya yang kami miliki, hanya dia peninggalan Haikal. Lantas sekarang dia pun meninggal, dan itu karena faktor kelalaian!" ujar Hamidah kian menyudutkan Hamzah.

"Kita bisa mencari jalan keluar lain, setidaknya jangan penjarakan istri saya," katanya memohon.

Percayalah, tidak ada satu pun suami yang rela membiarkan istrinya yang tengah berbadan dua mendekam di dalam penjara. Bahkan gertakan yang beberapa jam lalu dia layangkan, hanya sebatas sampai di kerongkongan.

Dia tidak benar-benar ingin membawa Hamna ke kantor polisi.

"Jalan keluar lain kamu bilang? Apa, Ham? Apa?!" tuntutnya.

Hamzah menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan. "Bapak dan Ibu bisa proses saya secara hukum, karena sudah menyalahi kesepakatan yang sudah kami buat bersama. Dan saya mohon, untuk kasus tenggelamnya Haleeza, cukup disimpan sebagai masalah keluarga. Jangan sampai diangkat ke pihak berwajib."

Sepasang suami istri itu diam dan saling memandang.

"Saya punya solusi yang paling mudah dan masuk akal, dari sekadar jeruji besi," tutur Anggi secara tiba-tiba. Dia berjalan kian mendekat untuk menghampiri besan serta putranya.

"Saya tidak akan pernah menyetujui usulan Hamzah, mau bagaimanapun dia adalah putra satu-satunya saya, dan hanya dia yang saya miliki sekarang. Untuk memenjarakan Hamna pun saya tidak sampai hati, mau bagaimanapun dia adalah menantu saya, yang sekarang tengah mengandung cucu saya."

Dia terdiam beberapa saat, dadanya terasa sangat sesak. "Hamna mengandung sepasang bayi kembar, seba---"

"Maksud Mama apa?!" potong Hamzah cepat.

Ditepuknya lembut pundak sang putra. "Ham, meksipun ini adalah keputusan yang berat dan Mama pun tahu kalian nggak mungkin mau melakukan ini. Tapi, ini adalah solusi terbaik. Kamu dan Hamna masih tetap bisa membina keluarga kecil kalian, begitupun dengan Bu Hamidah dan juga Pak Bima yang sangat menginginkan seorang cucu."

Anggi menghapus sudut matanya yang berair. "Sebagai ganti Haleeza, meski sampai kapan pun takkan pernah ada yang bisa menggantikan sosoknya. Kalian bisa merawat cucu perempuan saya yang nantinya akan dilahirkan Hamna."

"Ma!" desis Hamzah menolak keras.

"Kalian terlalu lama dalam bersepakat, Haleeza harus segera kita makamkan. Ham, Mama sudah sangat cukup lelah dengan kabar kematian Haleeza yang mendadak. Bahkan kamu sampai lupa, ada Hamna yang psikis dan mentalnya harus kamu jaga."

"Kita memang terpukul atas kepergian Haleeza, tapi yang ada di tempat kejadian adalah Hamna. Mama takut dia trauma, terlebih sebentar lagi dia akan melahirkan. Dia nggak baik-baik aja, Ham. Dia sangat membutuhkan kamu," tukas Anggi berusaha untuk menjernihkan pikiran.

Dia mati-matian meredam ego, berpikir keras untuk mencari sebuah solusi. Walau pada nyatanya apa yang dianggap sebagai 'solusi' akan jadi bencana di kemudian hari.

Tapi, mau apa dikata. Dia hanya ingin cucunya segera dikebumikan, dan perdebatan di antara sang putra serta besan bisa segera menemukan titik terang.

"Baik, kami menyetujui usulan Bu Anggi. Dan saya harap Ibu dan Hamzah tidak lagi berkelit pada saat nanti Hamna melahirkan. Keluarga kami membutuhkan seorang penerus," putus Hamidah tegas.

Hamzah menggeleng keras. "Lebih baik kalian penjarakan saya, daripada harus mengambil salah satu keturunan saya."

"Saya lebih menyetujui usulan Bu Anggi, Ham. Kamu tidak akan kehilangan keturunan, sekali---"

Belum terangkai sempurna kalimat Bima, Hamzah memilih untuk berlalu pergi meninggalkan ruangan begitu saja. Sungguh, dia tidak ingin mendengar lebih lanjut kegilaan mereka.

Dia pun tak habis pikir, kenapa sang mama bisa mengambil keputusan sepihak, yang bahkan tidak dibicarakan terlebih dahulu padanya.

Gila. Ini benar-benar gila!

BERSAMBUNG—

Padalarang, 14 Februari 2024

Hai, hai ketemu lagi kita 🤗😜
Gimana part kali ini? Seru nggak? Feel-nya nyampe nggak?

Oh, ya sebetulnya alur ini tuh mau aku taruh di Rintik Sendu Musim Pertama, tapi karena kepanjangan jadilah aku taruh di Rintik Sendu Musim Kedua. Dan aku cukup kaget dengan berita yang viral di dunia maya, tentang anak seorang artis yang 'diduga' ditenggelamkan.

Itulah yang buat aku agak 'ngerem' untuk nggak up terlalu cepat. Takut dikira ngikutin yang lagi in, padahal outline ini sudah aku buat dari semenjak nulis Rintik Sendu Musim Pertama.

Udah ah, kepanjangan author note-nya 😂☺️ ... Nyoblosnya aman, kan guys?

Masih mau digasskeun nggak nih?

Rintik Sendu Musim Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang