RS | Part 28

265 29 6
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

HAMNA membelai puncak kepala sang putra penuh sayang. Merasa tidak percaya sekaligus bersyukur karena Allah begitu berbaik hati menganugerahkan buah hati di tengah-tengah keluarga kecilnya.

"Natap Hamizan sampai segitunya, lama-lama saya cemburu sama putra saya sendiri, Na," ujar Hamzah berhasil mengalihkan fokus Hamna.

"Teduh banget hati saya kalau lihat Hamizan, juga nggak percaya kalau perempuan seperti saya ini sekarang udah jadi seorang ibu."

Hamzah ikut bergabung ke atas pembaringan, dia merengkuh Hamna dari samping lantas berkata, "Serasa menciptakan saingan sendiri. Kamu nggak pernah menunjukkan tatapan seterpesona itu saat melihat saya, tapi sama Hamizan mata kamu terlihat enggan untuk berpaling. Kamu jangan jatuh cinta sama anak sendiri atuh, Na."

Hamna terkikik geli. "Apaan sih, A, cemburu kok sama anak sendiri. Ngaco!"

Hamzah mendongak untuk bisa melihat dengan jelas wajah Hamna. "Emangnya nggak boleh?"

Hamna menarik tangan Hamzah yang melingkari pinggangnya, dia sedikit menggeser tubuh agar bisa duduk berhadapan dengan sang suami. "Aa dan Hamizan itu punya tempat tersendiri di hati saya. Jadi, nggak perlu merasa cemburu, Hamizan itu titipan yang Allah kehendaki untuk menghuni rahim saya. Sedangkan Aa adalah pilihan yang sekarang saya kehendaki dan Allah ridai. Paham?"

"Harus banget diperjelas ya 'sekarang'nya?" rajuknya.

Hamna terkekeh kecil. "Dulu, kan yang menghendaki pernikahan ini hanya Aa. Tapi, semenjak kita saling bersepakat untuk membina rumah tangga ini secara sehat sesuai tuntunan agama, saya mulai menghendakinya. Udah ah, perkara satu kata aja dipermasalahkan. Kenapa sekarang Aa cosplay jadi manja sih? Inget umur ih. Udah tua!"

"Nggak papa tua yang penting kamu cinta sama saya."

Bulu kuduk Hamna berdiri seketika. "Geli tahu, A Hamzah!"

Tanpa izin Hamzah mengecup salah satu pipi Hamna.

Hamna geleng-geleng kepala dibuatnya. "Nggak sopan ih, harusnya izin dulu. Jangan asal nyosor."

"Nggak papa sama istri sendiri juga."

"Bersih-bersih dulu gih, bau tahu pulang kerja bukannya mandi malah gelendotan kayak bocah. Saya siapkan dulu handuk sama pakaiannya," tutur Hamna bersiap untuk turun dari pembaringan.

"Kamu nggak usah repot-repot melayani kebutuhan saya, kamu juga pasti capek, kan seharian ngurus rumah, kuliah sambil ngemong Hamizan. Sekarang kamu duduk manis aja, puas-puasin deh lihatin putranya."

"Istrinya lagi mau panen pahala, malah dilarang."

Hamzah mengacak gemas puncak kepala Hamna. "Ya udah kalau kamu maksa, sekalian siapin air hangat ya. Badan saya pegal-pegal kayaknya enak kalau mandi air hangat."

Hamna mengangguk patuh. "Jagain Hamizan, awas kalau sengaja dibangunin. Aa suka jahil, rewel nanti kalau tidurnya belum puas."

"Iya siap, Nona."

Setelahnya Hamna pun berlalu menuju almari untuk mengambil handuk serta pakaian Hamzah, lalu dia bergegas keluar untuk memanaskan air di dapur.

Tak berselang lama dia tersentak kala menyadari kehadiran Hamzah yang tengah menggendong Hamizan, yang sudah membuka lebar kedua matanya. Perempuan itu hanya bisa menghela napas panjang.

"Tuh, kan!"

Hamzah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hamizan bangun bukan karena saya ya, Na," sangkalnya.

Hamna hanya merotasi matanya, dan hendak mengambil alih Hamizan tapi tak diperkenankan oleh Hamzah.

"Hamizan kebangun gara-gara kamu pergi, dia itu tahu mana bau ibunya sama mana bau papanya. Nggak bisa jauh-jauh banget dia sama kamu."

"Ya iyalah, orang papanya bau keringat. Keganggu itu indra penciumannya!"

"Ish, ish, malah ngatain saya ya."

Hamna menunjukkan dua jarinya tanda damai. "Bercanda atuh, A. Sini Hamizan sama Buna, kita mandi dulu."

"Hamizan biar saya yang urus, kamu siapin makanan aja ya, Na, ambil di meja ruang tamu. Mendadak ngidam mie kocok jadi saya beli aja buat kita makan. Kamu belum masak, kan?"

"Kebiasaan deh kalau mau beli makanan bilang dulu atuh. Saya udah masakin makanan kesukaan Aa juga," katanya.

"Maafin saya ya, Nona. Mie kocoknya buat Nona, masakan Nona biar saya yang habiskan."

"Terserah!"

Dirangkulnya bahu sang istri, tak lupa dia pun mengecup singkat puncak kepala Hamna. "Maafnya kok dijawab terserah? Maunya gimana atuh, hm?"

"Tahu ah!"

"Bunanya ngambek tuh, nanti kalau udah bisa ngomong Hamizan harus ada di kubu Papa ya, jangan ikut-ikutan nyudutin Papa," oceh Hamzah pada sang putra yang hanya mampu mengerjap-ngerjapkan matanya.

Bayi berusia tiga bulan mana paham apa yang dituturkan orang dewasa, tapi pria itu masih asik mengoceh seraya menunggu air benar-benar mendidih. Lain hal dengan Hamna yang melesat ke ruang tamu untuk mengambil mie kocok yang dibawa sang suami.

Hamna kembali dengan menenteng sebuah keresek lantas dia letakkan di atas meja makan. "Aa masih mau mie kocok atau makan masakan saya?"

"Masakan kamu, Na. Nggak jadi ngidam mie kocoknya, di-cancel."

"Saya nanya serius. Kalau emang kepengen banget mie kocok, masakan saya buat besok pagi aja."

"Kamu marah nggak kalau saya milih makan mie kocok ketimbang masakan kamu?"

"Nggak," jawabnya.

"Marah ini mah. Saya udah nggak minat mie kocok, kasih ke tetangga aja kalau gitu. Kita makan masakan kamu," ujar Hamzah seraya meringis kecil.

"Titip Hamizan dulu," imbuhnya sembari menyerahkan Hamizan, lalu mengambil cepat kantung keresek berisi dua porsi mie kocok.

"Perkara mie kocok bisa panjang kalau nggak diselesaikan sekarang. Hamzah, Hamzah, lain kali jangan sok inisiatif berkedok ngidam. Hamna mode sangar, terlalu mengerikan," monolognya sepanjang jalan.

Dia celingak-celinguk mencari orang yang sekiranya mau menerima pemberiannya tersebut. Sampai akhirnya dia menjumpai orang yang biasa mengambil sampah di depan rumahnya.

"Saya ada sedikit makanan untuk Bapak," ujar Hamzah begitu ramah.

"Alhamdulillah, terima kasih," sahutnya begitu senang.

Saat itu juga Hamzah merasa lega seketika. Ternyata rasa dongkol yang timbul di hati sang istri membawa berkah bagi orang lain, makanan itu jauh lebih beliau butuhkan.

Dia kembali ke dalam rumah dengan senyum mengembang, lalu memeluk Hamna yang saat itu sedang mematikan kompor. "Makasih ya, Nona."

"Apa?"

"Ternyata marah Nona membawa berkah. Makanan yang tadi saya beli memang bukan untuk saya, melainkan rezeki bagi orang lain yang kebetulan Allah titipkan pada saya."

"Maksud Aa apa sih?"

Senyum Hamzah kian mengembang. "Bukan apa-apa. Ini airnya hangatnya buat Hamizan mandi aja, saya mendadak ingin mandi air dingin. Di mana tempat mandi Hamizannya, Nona?"

Hamna menatap heran dengan tingkah sang suami, tapi dia tak ingin terlalu mengambil pusing hal tersebut. "Itu ada di dekat pintu kamar mandi. Jangan kebanyakan air panasnya, melepuh nanti kulit putra saya. Jangan kebanyakan juga air dinginnya, sakit nanti putra saya."

"Siap, laksanakan Nona."

BERSAMBUNG—

Padalarang, 01 Mei 2024

Up-nya cepet nih, semoga bisa istiqomah ya 🤣😂🤲

Gaskennn nggak nih?

Rintik Sendu Musim Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang