🥂2k vote and 1k comments for next chapter🥂
6. MOMENTUM
Memberi dan menerima, dua hal yang termasuk ke dalam kategori aturan tidak tertulis.
—Alana Gardenia Senja
***
Teman curhat. Hubungan Jihan dan Ajeng lebih dari sekadar majikan dan pembantu. Dua wanita yang sama-sama beranak satu itu nyatanya sangat akrab layaknya sahabat karib. Setiap pagi, saat Ajeng menyiapkan sarapan untuk mereka Jihan akan betah duduk berlama-lama di dapur dengan mulut yang terus bicara panjang lebar.
Ajeng merupakan pendengar yang baik menurut Jihan. Wanita cantik tanpa perawatan itu mampu membuat Jihan merasa plong usai menceritakan hal-hal yang dia alami mulai dari yang menyebalkan sampai menyenangkan, tak ada yang ia lewatkan sedikitpun.
Damar pun begitu, baginya, Jarwo tak hanya supir yang patuh, namun pria itu sudah ia anggap sebagai tangan kanan yang paling ia percayai. Jarwo juga senang mempelajari hal yang berbau tentang bisnis, semangat pria itu sangat Damar sukai. Setiap akan bepergian Jarwo akan selalu ikut dengannya, mengeluarkan tenaganya untuk membantu Damar seperti membawa koper dan menyiapkan segala keperluan bosnya.
Damar dan Jihan adalah dua manusia yang tak pernah memandang orang lain rendah apalagi dengan sebelah mata, sepasang suami istri itu menilai seseorang bukan dari materi, namun lewat karakter dan kepribadiannya. Sangat berbeda dan bertolak belakang dengan pria yang kini menatap intens perempuan berpiyama satin berwarna hitam di hadapan manik elangnya itu.
Wajahnya pucat. Bibir Alana yang selalu berwarna merah jambu kini juga ikut memucat, ujung hidung mancungnya memerah, sedangkan mata bulat yang biasanya ceria sekarang sendu. Ciri-ciri yang sudah cukup untuk menjelaskan kalau wanita yang berdiri lemah di depannya ini sedang sakit.
"Kenapa Sel?" tanya Alana dengan suara bindeng.
"Lo sakit?" Bukannya menjawab, Marsel malah balik bertanya.
Alana menggeleng. "Cuman flu biasa. Kamu ngapain ke sini?"
Alana meringis saat tangan dingin Marsel menyentuh dahinya. Dengan cepat ia memundurkan kepalanya.
Marsel mendengus. "Badan lo panas. Goblok banget, di tanya sakit malah geleng tadi."
Memilih untuk tak menanggapi perkataan Marsel, Alana menyentuh daun pintu, ancang-ancang hendak menutup, namun pria itu masih berdiri di tempatnya.
Marsel bersedekap, memberikan Alana tatapan berang. "Lo mau mati?"
"Apa sih Sel?" Nada suara Alana terdengar lemah, dia tak ada tenaga untuk meladeni pria ini sekarang.
"Makan malam dulu. Gue enggak mau ngeliat mayat besok pagi di rumah gue."
Alana menggeleng. Mengusap kuat ujung hidungnya. "Enggak, aku kenyang."
Marsel memberikan Alana tatapan malas. "Makan. Gue enggak mau ya lo mati! Tugas lo sebagai babu gue belum selesai!" Kemudian pria itu menarik pergelangan tangan Alana. Suhu panas dari tangan gadis itu langsung menyambut telapak tangannya.
"Aku enggak nafsu Sel," lirih Alana sambil mencoba menarik tangannya.
Saat sehat saja dia tak pernah menang melawan tenaga Marsel, apalagi sakit begini, alhasil Alana hanya mengekor di belakangnya, susah payah menyamakan langkah lebar Marsel.
Apa tak bisa pelan-pelan? Dia tak lihat kalau wanita yang tengah ia seret ini sedang sakit? Pikir Alana.
"Kenapa buru-buru banget sih Sel?" Alana masih berusaha meloloskan tangannya dari cengkeraman cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSELANA
Teen FictionTinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan bajingan yang Marsel miliki. Laki-laki problematik yang berusia satu tahun di atasnya itu adalah soso...