2.75K VOTE + 1K KOMEN NEXT
48. RAGA KECIL SI WADAH DERITA
Bukan semesta yang jahat, tapi manusianya.
***
Tumpukan buku fiksi tersusun rapi di depan dua wanita berkulit putih yang sedang tengkurap di atas kasur berukuran sedang itu. Belasan bungkus snack teronggok di beberapa sudut ranjang bersama plastik buku novel yang dua setengah jam lalu mereka buka.
Namun meskipun keduanya makan di atas tempat tidur, sejauh ini tak terlihat sedikit pun remahan kerupuk di sekitar mereka barang secuil saja. Karena memang, dua sahabat karib tersebut lumayan sama-sama menjunjung tinggi perihal kebersihan. Jadi jangan heran mengapa mereka berdua bisa berteman dekat layaknya saudara kembar.
Malam ini Alana sedang bertamu ke rumah Paula. Tentu saja perempuan berkacamata itu yang merengek ditelepon memintanya untuk segera datang saat waktu menunjukkan pukul delapan malam tepat. Beruntung Marsel juga ingin keluar karena katanya, laki-laki itu ada urusan. Alana sama sekali tidak bertanya hal apa yang akan Marsel urus, gadis itu hanya menebeng di mobil kekasihnya dan Marsel dengan senang hati mengantarnya.
“Baik banget ya kak Bastian. Aku gak pernah nyangka kalau dia bakal belikan aku buku novel dua puluh biji,” kata Paula entah untuk yang ke berapa kalinya ia memuji kemurahan hati Bastian.
Alana mengangguk membenarkan. “Gak cuman kak Bastian, La, tapi semua teman-teman Marsel yang lain sama kok ...,” Alana membuka lembar buku selanjutnya. “Tapi ya gitu, sifat baiknya ketutupan sama tampang sangar dan rumor miring tentang mereka.”
Paula manggut-manggut menyayangkan. “Kalau tahu imbalannya sebesar ini mending sering-sering deh aku bantu dia ngerjain tugas sekolah.”
Alana tertawa kecil, sepintas dia alihkan perhatiannya dari novel ke Paula. Alana tarik pelan ujung rambut ekor kuda sahabatnya. “Kalau sering-sering yang ada kak Bastian malah bokek dong La. Kamu ini gimana sih?”
“Ihh gak bakal.” Paula lempar asal novel di tangannya membuat tawa Alana semakin pecah. Sembari menatap Alana, Paula pangku dagunya menggunakan satu tangan. “Tadi aja waktu bayar belanjaan aku gak sengaja lihat kartu hitam di dompetnya.”
“Oh ya?” Alana terkikik sembari menutup bukunya. Mulai meladeni Paula dan ikut-ikutan menopang dagunya dengan sebelah tangan.
Sahabatnya itu mengangguk ribut. “Iya dan gak cuman satu doang kartu hitamnya.” Paula menatap dinding kamar di belakang Alana, berusaha mengingat jumlah kartu yang ada di dompet Bastian. “Empat kalau gak salah,” lanjutnya tidak yakin.
“Gak sopan banget mata kamu ngintip-ngintip begitu,” balas Alana diselingi candaan.
“Iss bukan ngintip!” Paula sentil gemas kening Alana. “Enggak sengaja ngelirik dompetnya Alana,” terangnya membela diri.
Alana mencibir. “Halah mana ada gak sengaja tapi sempat-sempatnya ngitung kartu. Ingat lagi berapa jumlahnya.”
Gelagapan, Paula berdeham keras. Namun Paula tidak akan kalah semudah itu. Otak liciknya bekerja. “Oh iya tadi kak Bastian juga mau beliin kita berdua tiket nonton loh, tapi aku tolak karena gak enak,” curhatnya mengubah topik pembicaraan.
Alana mendengus geli, ia melipat kedua tangannya. Menjatuhkan pipi kanannya di sana, menatap wajah Paula dari samping lalu tersenyum kecil. Perempuan berkacamata di sebelahnya itu kelewat semangat menceritakan pria yang baru dia ajak bicara tadi sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSELANA
Dla nastolatkówTinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan bajingan yang Marsel miliki. Laki-laki problematik yang berusia satu tahun di atasnya itu adalah soso...