2. HARI YANG BURUK

124K 7.1K 1.4K
                                    

🥂3k vote and 1.55k comments for next🥂

2. HARI YANG BURUK

Layaknya boneka, yang tak bisa apa-apa selain menurut kala dimainkan oleh sang pemiliknya.

***

Tubuh kecil yang terbalut baju tidur lengan panjang dengan motif kepala panda itu berjinjit guna memasangkan dasi abu-abu ke leher pria jangkung yang berdiri di depannya.

"Nunduk dikit Sel."

"Ogah."

"Dikit aja Sel. Aku susah masangin dasinya sambil jinjit begini."

"Derita spesies pendek macam lo."

Bukan Marsel namanya kalau tak membuat susah hidup Alana satu hari saja. Seperti pagi ini, setelah menyiapkan buku pelajaran Marsel, menyetrikakan seragam cowok itu, menyiapkan air hangat untuk pria itu mandi, dan sekarang, memasangkan dasi. Alana mengucap syukur berkali-kali dalam hati saat Marsel tak sekalian juga minta dimandikan.

Alana heran, kepala pria tampan ini ada otaknya atau tidak sih? Dia tak melihat apa, kalau Alana sendiri saja belum mandi. Dia pikir hanya dirinya yang ingin pergi ke sekolah?

Kedua lengan kekar Marsel dengan lancang merangkul pinggang ramping Alana. Sedangkan mata jelalatannya asyik meneliti tiap inci wajah Alana yang kini fokus memasangkan dasinya.

Mungil.

Satu kata yang tepat untuk menggambarkan perawakan dan bentuk wajah Alana. Hidungnya mungil namun sangat mancung. Lubang hidungnya juga kecil, Marsel yakin, jari kelingkingnya saja pasti tak bakal masuk di sana. Bibirnya apalagi, sangat mungil, tipis, tapi berwarna pink alami.

Eh, Marsel salah. Tidak mungil semuanya. Pipi gadis ini menggembung, sangat berisi, matanya juga bulat. Alisnya terbentuk sempurna, Alana tak membutuhkan pensil alis lagi karena warna alis gadis itu hitam pekat. Bulu matanya sedikit lentik, walaupun tak selentik bulu mata Marsel, tapi hal itu malah menjadi pelengkap kecantikan Alana.

"Gue udah bilang atau belum?"

Alana melirik Marsel sekilas. "Apa?" Lalu kembali fokus pada dasinya.

"Kalau lo cewek paling jelek yang pernah gue temuin."

Alana mengangguk. "Udah. Udah lima belas kali." Wajahnya tak menampakkan raut terluka sedikitpun, menandakan kalau dirinya benar-benar sudah terbiasa dengan perkataan jahat yang keluar dari bibir Marsel.

"Kalau lo dan keluarga lo itu seperti benalu, orang miskin yang numpang hidup di rumah gue, udah pernah gue bilang?"

Alana menghela napas. "Udah Sel. Hampir tiap hari."

Marsel manggut-manggut. Ia makin mengeratkan rangkulannya pada pinggang Alana. "Kala-"

"Lepas. Dasi kamu udah aku pasangin," sela Alana. Ia betul-betul tak nyaman dengan posisi dekat mereka sekarang.

Marsel mendengus. Marsel bebaskan pinggang Alana namun secepat kilat mencekal satu tangan gadis itu saat Alana hendak meninggalkan kamarnya. "Mau ke mana lo?"

"Mau mandi. Aku juga mau siap-siap buat pergi sekolah," terang Alana.

Marsel menyentak kasar tangan kecil yang berada digenggamannya, membuat jaraknya dan gadis itu sangat dekat, kini.

"Minyakin terus sisirin rambut gue. Baru lo boleh pergi dari kamar ini. Ngerti lo, babu?"

Padahal biasanya Marsel tak pernah memakai minyak rambut, surai tebal pria itu selalu tampil apa adanya, maksudnya, rambutnya selalu dia biarkan acak-acakan, membuat dirinya terkesan lebih manly.

MARSELANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang