Tolong lestarikan vote di setiap bab marselana yang kalian baca. Jadilah pembaca bijak yang tahu caranya menghargai karya orang lain setelah menikmatinya. Kamu siders? Silahkan tinggalkan lapak ini!
24. SOSOK YANG TERLUPAKAN
Pernah dibuat terbang setinggi-tingginya, sebelum kemudian dijatuhkan begitu saja oleh kenyataan.
***
Tangannya bisa menyentuhnya, mengusap punggungnya, mendekapnya erat, tapi kenapa ia tidak bisa mengenali wajahnya? Kenapa bentuk mukanya harus samar-samar? Tidak peduli mau sekuat apapun ia mencoba, hanya satu yang bisa ia kenali dari gadis ini, rambutnya yang pendek. Ya, hanya itu.
"Lo selalu cantik mau gimanapun bentukan rambut lo."
Lalu, setelah kalimat tadi terucap dari bibirnya, mereka tidak lagi berada di atas gedung, tapi kini, berpindah ke tepi jalan dan kedua tangannya sedang mengancingkan helm seorang wanita. Dirinya yakin kalau ini perempuan yang sama.
"Kepala kecil lo ini bisa bocor kalau semisalnya ada kecelakaan enggak keduga!"
Dan tiba-tiba saja, ia kembali bersama dengan perempuan berambut pendek. Sementara jari telunjuknya sedang menyentuh sudut bibir wanita itu. Di sana sedikit sobek. Sesaat kemudian, bibirnya sendiri meniup-niup luka disudut bibir perempuan tadi, perempuan yang sama sekali tidak bisa ia kenali.
"Lo bakalan mati kalau terus-terusan nahan napas ...," Kata terakhir terucap dari bibirnya tanpa suara. Tapi ia yakin kalau kata terakhirnya tadi, menyebutkan nama si wanita asing ini.
Rasanya sangat aneh. Sekarang kepalanya malah menunduk, menatap ujung sandal rumahan yang kakinya kenakan, berwarna abu-abu gelap. Dan, apa ini? Mengapa dirinya menangis? Kenapa pula dadanya terasa amat sesak?
"Di makan ya, nasi goreng buatan dari si biang masalah ini."
Napas pria yang terbaring di atas brankar rumah sakit itu memburu dengan cepat ketika kelopak matanya terbuka lalu ia membelalak. Rebreathing mask yang ia gunakan terlihat berembun, sebelum kemudian benda itu ia bawa ke atas kepala, lalu diloloskannya begitu saja oleh tangan kanannya yang terasa amat sakit. Bibirnya terbuka sebab sang empunya mulut mengeluarkan karbon dioksida lewat sana.
Rasa sakit di kepalanya serta nyeri di sekujur tubuhnya, tidak sebanding dengan rasa sesak dalam dadanya. Perlahan, mengalir cairan bening dari kedua pelupuk mata Marsel. Sedang tatapan netra elangnya kosong memandang langit-langit bercat putih di atas sana. Ingin sekali Marsel menyebut nama seseorang, namun, tak ada satupun nama yang terlintas di benaknya.
Kosong dan hampa. Dua kata yang menggambarkan perasaan Marsel sekarang. Otaknya tidak bisa memikirkan apapun. Yang bisa Marsel lakukan kini, hanyalah berusaha untuk bernapas dengan benar supaya bagian dadanya tidak lagi terasa sesak.
Ponsel dalam genggaman Arlan terlepas kemudian mendarat di pahanya. Segera Arlan mengucek matanya sendiri untuk memastikan bahwa kali ini, dia tidak sedang salah lihat. "MARSEL SADAR!" Arlan berteriak sembari berdiri dari duduknya, hingga beberapa manusia di sana, kompak memandang ke arah brankar.
Buru-buru Farel melangkah keluar guna memanggil dokter. Berlari sekencang mungkin walaupun sekarang lututnya terasa lemas akibat terkejut, mendadak otaknya blank, tidak menyangka kalau Marsel akhirnya membuka mata setelah mengalami koma selama sepuluh hari lamanya.
Sementara di dalam ruangan. Ranjang rumah sakit itu mulai dikelilingi oleh mereka yang hampir setiap hari datang ke sana. Jihan menangis tersedu-sedu, tangannya yang bergetar terangkat hendak menyentuh rahang Marsel, namun pria itu lebih dulu menghindar dengan menggeser posisi kepalanya, menjauh, menatap Jihan penuh kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSELANA
Teen FictionTinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan bajingan yang Marsel miliki. Laki-laki problematik yang berusia satu tahun di atasnya itu adalah soso...