JANGAN LUPA VOTE AND KOMEN
51. DATANGNYA MUSIM SEDIH
Mobil Alphard putih milik Farel baru saja terparkir sempurna di luar gerbang rumah megah Marsel tepat pukul satu malam dini hari. Pada waktu selarut ini, Farel tentunya bukan ingin berkunjung, melainkan tengah mengantarkan Marsel pulang ke habitat aslinya.
Sematinya mesin mobil Farel menoleh ke belakang, menatap Marsel yang menempati jok mobil paling ujung. Teman-temannya yang lain juga melakukan hal sama. Netra mereka kompak memandang lurus hanya pada satu titik.
Marsel tepar. Entah berapa botol alkohol yang Marsel minum hingga ia jadi tidak berdaya seperti itu. Marsel tertidur. Kepalanya bersandar ke kaca mobil. Kerutan samar menghias dahinya, jejak air mata yang terdapat di pipinya membuat enam laki-laki di dalam mobil berbarengan menghembuskan napas lelah.
Aksara menyenggol bahu Kenzo. “Bangunin.”
Gelengan ribut Kenzo menandakan bahwa ia menolak. “Gak tega gue. Lo aja yang bangunin.” Kenzo berpaling. Menatap ke luar jendela mobil yang terbuka sehingga hembusan angin malam langsung menampar wajahnya. Dia menggigit bibir bawahnya saat kilas balik masa lalu menyakitkan itu kembali terbayang karena Marsel mengalami hal serupa.
“Anjing lah.” Arlan seka sudut matanya yang berair. “Kok bisa ada orang tua setega ini sama anaknya?” monolog Arlan tak habis pikir.
Ayolah, Arlan memang mengakui Marsel seorang bajingan. Namun memaksa keduanya berpisah selama belasan tahun itu sama saja seperti membunuh Marsel secara perlahan sebab Arlan tahu betul sebesar apa cinta Marsel untuk Alana. Pun baru kali ini Arlan menyaksikan langsung kebahagiaan seorang anak tega direnggut oleh orang tuanya sendiri.
Aksara mencondongkan tubuhnya ke depan. Mengamati saksama wajah Arlan. “Lo nangis?”
Arlan mendelikkan matanya malas. “Lo gak lihat tisu di tangan gue basah?”
Hati siapa yang tidak teriris coba? Sebelumnya Marsel tak pernah menunjukkan sisi lemahnya kepada siapa pun. Meski ia mengambil raportnya sendirian sejak sd, Marsel tetap menunjukkan ketegarannya. Tidak pernah Marsel biarkan manusia lain melihat guratan sedih di bola matanya, tapi malam ini? Marsel hancur sehancur-hancurnya.
“Gini amat nasib lo Sel,” lirih Bastian. Dia sugar rambut Marsel ke belakang sebab Bastian duduk di sebelah Marsel. Bastian usap air mata Marsel yang meleleh lewat pelupuk matanya menggunakan jempol. “Pasti sakit banget. Lo nangis bahkan di dalam tidur lo.”
Jelas ulu hati Bastian tersentil. Bukan sekali dua kali Marsel memanggil nama Alana tapi belasan kali. Belum lagi dari tadi tangan kanannya terus Marsel peluk dan baru terlepas ketika Bastian menyentak kasar tangannya.
Daren menghela napas beratnya. Ia simpan ponselnya ke saku jaket, menyudahi kegiatan balas pesan bersama wanita-wanitanya. Kemudian memangku dagu menggunakan satu tangan. Daren tatap Marsel lekat. “Tinggal hamilin aja apa susahnya sih? Alana gak bakal pergi kemana-mana semisalnya lo bikin dia bunting.”
Walau terdengar konyol, tak ada yang bisa menampik keakuratan saran yang meluncur dari mulut kurang ajar Daren. Mesti kepergian Alana tertunda andai kata makhluk kecil hadir atas perbuatan melenceng yang Marsel lakukan. Aborsi? Alana tidak akan pernah sanggup melakukannya.
“Why?” Daren memasang sikap santai tatkala semua mata menjurus ke arahnya. “Dari awal hubungan Marsel dan Alana memang gak sehat.” Daren mengedikkan bahunya sebelum bersandar ke kaca mobil. “Ibaratnya mereka berdua udah terlanjur basah, kenapa gak sekalian aja berenang?” tanya Daren dengan alis terangkat satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSELANA
JugendliteraturTinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan bajingan yang Marsel miliki. Laki-laki problematik yang berusia satu tahun di atasnya itu adalah soso...