Setelah semalaman dilanda badai, para warga pulau Eltriluxly bisa bernapas lega. Sebab, badai berhenti dini hari tadi pada pukul setengah tiga.
Rumah susun tampak gaduh. Warga yang kemarin terjebak di ladang gandum kembali dalam keadaan basah kuyup dan terserang demam. Ada ibunya Gyuvin-Gunwook di sana, begitu pula dengan ibunya Matthew.
"Zhang Hao! Panggil Zhang Hao!" teriak bibi Kim panik. Mengguncangkan bahu putranya agar segera mencari keberadaan Zhang Hao.
"Iya, Bu, iya. Jiwoong akan memanggil Zhang Hao kemari. Untuk sementara, bisakah Ibu menemani Bibi Park dan Bibi Seok?" balas Jiwoong pasrah. Barulah setelahnya kepanikan bibi Kim berhenti.
Jiwoong segera berlari menuju kamar milik keluarga Zhang kemudian menggedor-gedor pintu. Siapa tahu Zhang Hao belum bangun setelah semalaman menjaga Yujin yang demam tinggi. "Zhang Hao! Kami membutuhkan obat!"
Tak membutuhkan waktu lama, pintu dibuka dari dalam. Zhang Hao tampak membawa tas selempang yang diketahui berisi obat-obatan.
"Ku kira kau masih tidur," kata Jiwoong. "Ayo, cepatlah bergegas jika begitu. Warga yang terjebak di ladang gandum seluruhnya demam."
Tanpa membalas perkataan Jiwoong, Zhang Hao berlari kencang menuju ruang depan tempat warga biasa mengadakan makan malam bersama. Di sana, terlihat beberapa orang tersebut telah diganti pakaiannya dan sedang diberi minuman hangat serta bubur. Zhang Hao lekas-lekas mengecek kondisi mereka, barulah kemudian mengambil beberapa tabung kecil obat penurun panas untuk diberikan pada warga yang sakit. Para warga yang sehat lantas membantu mereka kembali ke kamarnya masing-masing.
"Mereka benar-benar demam?" tanya Jiwoong.
Zhang Hao yang tengah mengemasi obat-obatan miliknya memutar bola mata malas. "Tentu saja demam. Semalaman terjebak hujan badai seperti itu, mustahil bila mereka tidak demam keesokan harinya," balasnya. Kemudian mendongak menatap Jiwoong. "Kau kenapa diam di sini? Bukankah biasanya kau ke dapur dan menyalakan tungku api untuk para bibi?"
Yang lebih tua menepuk dahinya. "Oh iya! Pukul berapa sekarang?"
Dari ruang depan, kita berpindah ke kamar milik keluarga Seok. Matthew tampak setia menggenggam tangan sang ibunda, sementara di ujung kasur, Taerae dan Taemin menatapnya dengan iri. Bibi Seok pun mengelus rambut Matthew penuh kasih sayang. Membuat dua bersaudara Kim itu langsung merasakan sesak seketika akibat teringat pada ibu mereka.
"Bu? Ibu mau apa? Biar Woohyun carikan."
Bibi Seok menggeleng lemah. "Tidak mau apa-apa. Ibu hanya mau Woohyun di sini. Temani Ibu sampai sembuh, ya?"
Taerae menyikut pinggang Taemin. Memberi kode supaya mereka segera beranjak agar tidak mengganggu momen khusus antara Matthew dengan ibunya. Keduanya keluar lantas berjalan berendengan menuju kamar. Memutar kenop pintu kemudian masuk ke dalam untuk menghadap tiga potret pada dinding.
"Genggam tangan Kakak, Taerae," pinta Taemin. Mengulurkan sebelah tangannya.
Tanpa berkomentar banyak, Taerae meraih tangan sang kakak untuk digenggam. Mereka sama-sama memejamkan mata seraya memanjatkan doa agar ayah, ibu, serta adik mereka tenang di atas sana.
***
"Selamat datang, Pemimpin Hoetaek."
Hoetaek mengembangkan senyum tatkala netranya menangkap para ibu yang tergopoh-gopoh menyambutnya di pintu depan rumah susun. Mereka menyediakan kursi serta meja dan menyuruhnya duduk, bahkan menyuguhkan berbagai kue serta teh beraroma harum.
"Seharusnya Anda sekalian tidak perlu repot-repot, saya hanya berkunjung sebentar untuk menjenguk warga yang kemarin terjebak saat badai di ladang gandum," ujarnya. Meski demikian, Hoetaek tetap menghargai mereka dengan mengambil sepotong kue untuk dimakan. "Apa mereka sudah sembuh?"
"Menjawab, Pemimpin. Para warga belum sepenuhnya sembuh. Tapi saya sudah memberi obat pada mereka," jawab Zhang Hao sopan.
"Maaf sebelumnya menyela, Pemimpin. Tapi bolehkah kami tahu apa penyebab dari menghilangnya elemen saat badai tadi malam?" giliran salah satu warga yang bertanya.
Diraihnya cangkir berisi teh untuk sedikit disesap, sebelum akhirnya menjawab, "Yang terjadi tadi malam itu adalah Badai Segel Elemen. Sebuah badai yang menyebabkan para pemilik elemen kehilangan kekuatannya untuk sementara waktu."
"Lalu, apa penyebab dari badai itu?"
Ia mengangkat bahu. "Saya pun tidak tahu. Tapi saya bisa memastikan kalau badai yang kemarin itu memanglah Badai Segel Elemen."
Terdengar sedikit suara gaduh dari atas. Hoetaek mendongak, seketika itu juga tatapannya bertemu dengan Yujin yang tengah dipapah Hanbin. Bocah itu kelihatan gentar entah kenapa. Kemudian secara terburu meminta Hanbin untuk kembali ke kamar. Hoetaek lantas menurunkan pandangan. Sadar bahwa ada yang tidak beres.
Zhang Hao sebenarnya tidak paham apa korelasi antara kedatangan Hoetaek dengan Yujin yang tiba-tiba saja kembali ke kamar padahal sebelumnya mungkin berniat turun ke bawah. Namun, dia tetap berkata, "Kalau Pemimpin Hoetaek bingung, Yujin mengalami demam tinggi tadi malam. Apakah kedatangan Anda kemari juga sekalian ingin menjenguknya?" Ya... Setidaknya sebagai seorang 'dokter' di sini, Zhang Hao harus memberikan penjelasan, kan?
"Tidak. Lagipula dia sudah kelihatan baik." Mengesampingkan rasa curiga, Hoetaek meneguk habis teh dalam cangkirnya sebelum beranjak seraya mengulas senyum pada ibu-ibu di sana. "Maaf karena tidak bisa berlama-lama. Saya harus pergi untuk melihat keadaan ladang. Saya titip salam pada warga yang sakit, ya. Kalau begitu saya permisi. Dan sekali lagi maaf karena tidak menghabiskan kuenya, tapi saya akui itu sangat lezat."
Setelah melangkahkan kakinya keluar dari rumah susun, Hoetaek tak bisa menyembunyikannya lagi. Rasa-rasanya, setiap kali bertemu Yujin, ada sesuatu yang bocah itu simpan. Dan Hoetaek ingin tahu apa itu. Mungkinkah ada rahasia soal Nigreluna yang dipendamnya sendirian? Ataukah Yujin memang hanya dijadikan pancingan agar Eltriluxly kacau dan guardian terganggu?
***
Kalau yang tadi malam itu memang Badai Segel Elemen, itu artinya dia marah. Bagaimana jika dia sampai menemukan pulau Eltriluxly?
Sembari menaikkan sedikit selimut untuk menutupi kaki Yujin yang dingin, Hanbin melirik sang adik. Dia tampak gelisah usai meminta kembali ke kamar tadi. Membuatnya tak bisa untuk sekadar menyapa Hoetaek sebagai bentuk sopan santun.
Apa mungkin karena dia mendengar perkataan Hoetaek soal Badai Segel Elemen, makanya Yujin jadi linglung seperti ini?
"Kau tahu sesuatu soal Badai Segel Elemen?"
Pertanyaan itu sontak saja membuat Yujin terkesiap lantas memalingkan muka. Menghindari tatapan Hanbin.
Tapi, Hanbin masih penasaran, jadi walaupun pertanyaan sebelumnya menguap tanpa jawaban, ia menanyakan hal lain yang tetap berhubungan dengan topik itu. "Apakah Badai Segel Elemen ini juga yang membuat tanganmu berdarah semalam?"
Lagi-lagi, Yujin tak menjawab.
Hanbin meraih kedua bahu adiknya untuk diguncangkan. "Tatap Kakak, Yujin. Dan jawab. Kakak tidak akan memberitahukannya pada siapapun. Kakak percaya padamu."
"Kalau aku bilang iya, apa Kak Hanbin akan percaya?" tanya Yujin. Menatap Hanbin dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Kakak percaya padamu," jawab Hanbin.
"Kalau aku bilang, tanganku berdarah karena Sanguinis Oblatio, apa Kak Hanbin percaya?"
Hanbin mengangguk mantap. "Kakak tetap percaya padamu, sekalipun Kakak tidak tahu seperti apa Sanguinis Oblatio itu."
"Dan yang terakhir," Yujin menatap Hanbin dengan sorot mata lebih dalam daripada sebelumnya. "Kalau aku bilang Pemimpin Hoetaek mengenal orang yang menyiksaku di Nigreluna, apa Kak Hanbin percaya?"
------------------✨
📝A/N
Maaf karena updatenya ngaret :')
Terima kasih buat kalian yang memberi vote + komentar. Selamat membaca chapter ini dan sampai jumpa di chapter selanjutnya.
See you~
KAMU SEDANG MEMBACA
THE GUARDIANS : ROAD TO UTOPIA [ZB1]
FantasiBelum pernah ada sejarahnya seorang guardian yang dibawa ke kerajaan utama Nigreluna kembali dalam keadaan selamat dan pulang ke pulau Eltriluxly. Namun, suatu ketika, kejadian aneh dan ajaib terjadi. Sesosok guardian tiba-tiba saja kembali ke Eltr...