17. cutting through the forest, looking for the palace

215 34 1
                                    

Setelah selesai mengumpulkan perbekalan serta mengobati guardian yang terluka, tibalah saatnya bagi mereka untuk meninggalkan desa. Bahan obat-obatan juga sudah berhasil didapat. Zhang Hao mengolahnya menjadi salep dan beberapa obat dikeringkan dengan menggunakan elemen cahaya.

Bagian memanggul barang berat diserahkan pada Jiwoong dan Matthew. Sedangkan sisanya membawa yang ringan-ringan saja. Eh... Tidak terlalu ringan, sih. Sebab mereka membawa perbekalan ditambah pakaian serta selimut. Juga beberapa panci tembaga serta bejana. Sebab, para guardian tidak tahun kapan mereka akan tiba di istana. Ricky, Gyuvin, dan Gunwook sudah banyak lupa jalan. Apalagi sekarang, jalanan setapak telah  tertutup ilalang setinggi pinggang orang dewasa. Saat malam hari tiba, tak mungkin bagi mereka untuk melanjutkan perjalanan. Takutnya ada hewan buas ataupun monster.

"Kau sudah seperti pedagang ikan bakar ya, Matthew. Cocok sekali," celetuk Jiwoong.

Matthew mendelik. "Hei, lihat siapa yang bicara. Kau sendiri tak jauh berbeda denganku, Kak."

Suara tepukan tangan membuyarkan ejekan mereka, menyadarkan bahwa keduanya jauh tertinggal di belakang. Membawa sepuluh ekor ayam panggang sebesar kalkun serta beberapa ekor kelinci yang diletakkan pada dua buah keranjang anyaman besar sangat sulit bagi Jiwoong. Begitu pula dengan Matthew, yang membawa sekeranjang penuh ikan bakar serta sekeranjang beri. Sungguh tidak adil. Namun, mau bagaimana lagi?

"Tidak bisakah kau hilangkan semak-semak ini, Pemimpin Hoetaek? Semaknya sangat menyulitkan perjalanan karena membuatku buta arah," tanya Gyuvin yang berjalan paling depan.

"Aku tidak bisa melakukannya, Gyuvin. Kecuali jika berada di Seagle, baru aku bisa," jawab Hoetaek.

Dahi Taerae mengernyit. "Memangnya ada efek samping jika kau menghilangkan semak di Norglaraland?"

Semak berduri mengenai kakinya. Hoetaek menunduk, menghilangkan semak itu sembari menjawab lagi, "Tentunya. Jika bukan tanah kelahiranku, tumbuhan yang ku hilangkan akan terbakar api. Aku tidak mau menyebabkan kebakaran. Dan aku tidak mau mengambil resiko dihukum oleh pangeran Norglaraland." Ia kembali berdiri tegak seraya mengerling Ricky.

SRAK!

Sontak saja semua orang mematung. Was-was sebab takut akan adanya hewan buas. Lama kelamaan suara itu makin keras, seakan-akan makhluk itu mendekat. Para guardian sudah berancang-ancang untuk mengeluarkan elemen. Namun yang tak mereka kira, ternyata suara itu berasal dari seekor ayam hutan yang berlari kesenangan membelah semak perdu dengan paruh membawa cacing yang menggeliat.

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan.

Masih di dalam hutan.

Sebab menurut penuturan Ricky, istana Norglaraland tepat berada di ujung wilayah. Dan katanya, cuaca pada wilayah yang dilewati akan berbeda-beda. Berbeda halnya dengan kerajaan lain, Norglaraland memang terkenal sebagai kerajaan bercuaca ekstrem. Meskipun demikian, mereka masih tak habis pikir bagaimana bisa para tentara Nigreluna berhasil menembus pertahanan kerajaan ini bahkan mengambil seluruh rakyatnya untuk ditawan.

Jalan yang semula dipenuhi ilalang berubah menjadi jalanan tandus. Pohon-pohon di hutan ini gersang, beberapa tinggal batang, dahan, serta ranting-rantingnya saja. Hawa yang terasa agak panas.

"Apakah hawanya memang sepanas ini, Yang Mulia?" tanya Yujin seraya mengipasi lehernya menggunakan tangan.

Hawa panas di sini sanggup membuat tubuh berkeringat. Apalagi sambil berjalan seperti ini. Namun, bukannya Ricky yang menjawab, malah Gyuvin yang buka suara. "Ini masih belum seberapa panas. Setelah ini kita masih melalui kawah sebelum tiba di istana Norglaraland."

"Kalian lihat gunung di kejauhan itu?" tanya Gunwook.

Serempak seluruh orang di sana menatap pada kejauhan. Tentu saja mereka dapat melihat rangkaian pegunungan berwarna putih yang dimaksud oleh Gunwook.

"Istana Norglaraland ada di kaki gunung es itu," sambung Gunwook kemudian. "Sebelum mencapai istana, kita harus berjuang melewati jembatan di atas kawah gunung berapi ---

"Hei, yang benar saja!" protes Hoetaek. "Kau tidak bermaksud menipu kami, kan?!"

***

Padahal tidak, Gunwook sama sekali tak menipu.

Mereka benar-benar harus melalui jembatan kayu yang dirangkai menggunakan tali sepanjang satu kilometer, dan terbentang dari ujung jurang ke ujung jurang nun jauh di sana. Dan berada di atas kawah gunung berapi yang membara serta siap melahapmu kapan saja. Para guardian tak dapat mengira seberapa panas lava yang ada di sana. Mungkin, lebih dari cukup untuk menghanguskan daging sampai ke tulangnya?

"Kalau memakai Watersplash atau Spirito dell'acqua apakah tidak bisa padam?" celetuk Matthew tiba-tiba.

Sontak saja Taerae memutar bola matanya malas. "Kau pikir kekuatanku sebesar Pemimpin Hoetaek? Hei, aku sudah sekali mengeluarkan Spirito dell'acqua, kalau aku menggunakannya lagi untuk memadamkan lava di sini, aku bisa mati!" balasnya keki.

"Kalau kau, Kak Jiwoong? Tidak bisakah kau mengendalikan lava dan magma gunung berapi?" tanya Hanbin.

Jiwoong menggeleng. "Tidak bisa. Lebih baik kau tanya Yang Mulia Pangeran Quanrui. Apakah dia bisa mengendalikan kawah gunung berapi ini atau tidak."

Semua orang kompak mengalihkan perhatian pada Ricky. Yang ditatap sendiri menggelengkan kepala. "Sayangnya tidak. Selama belasan tahun hidup di sini, satu-satunya cara melewati kawah gunung ini hanyalah menaiki naga," tuturnya.

"NAGA? NAGA, KATAMU?"

Lagi dan lagi, keanehan Norglaraland membuat para guardian menganga lebar. Tak berhenti pada cuacanya yang ekstrem, jembatan di atas kawah gunung berapi, gunung es yang berdiri kokoh bagai es abadi yang tak bisa mencair, dan kali ini, NAGA?

Hewan mitologi yang biasanya cuma mereka dengar lewat dongeng sebelum tidur, ada di sini?!

"Tunggu, seharusnya dia mengenaliku," ucap Ricky dengan santainya. Ia menyatukan kedua tangannya di depan dada membentuk kepalan, lantas memejamkan mata. Perlahan-lahan, surai pirangnya bercahaya terang seperti cincin perak yang berada di jari telunjuknya.

Sekelebat bayangan besar muncul dari balik pepohonan bersalju di ujung jurang. Suaranya sangat kencang sampai-sampai membuat telinga para guardian berdengung. Semakin lama, bayangan itu semakin besar. Menampakkan rupa menyeramkan dari sang naga yang bersisik tebal, dengan enam kaki bercakar tajam, serta gigi-gigi runcing seukuran pohon cemara yang mencuat dari gusinya yang kemerahan. Matanya yang bulat besar menatap penuh selidik. Ia meliukkan tubuhnya, melewati kawah gunung berapi dengan tenang. Kemudian berputar-putar sejenak. Sesudahnya, barulah sang naga menghadap Ricky.

"Yang Mulia, Anda kembali!"

Senyum Ricky merekah. "Ya, aku kembali, Norgra."

Norgra alias sang naga maju sedikit. Menyemburkan napasnya yang panas. "Tapi Anda sudah terlambat! Yang Mulia Raja dan Ratu sudah tewas! Aku melihat sendiri mereka dibunuh oleh banyak orang! Tapi aku tidak bisa menolong karena tubuhku disegel!"

"Tidak apa-apa. Aku sudah menduganya, Norgra. Saat ini, aku hanya ingin meminta tolong padamu untuk mengantarkan kami ke seberang. Kami harus segera tiba di istana," kata Ricky. 

Sang naga menggeram. "Tentu. Yang Mulia bisa naik ke atas punggungku, begitu pula dengan teman-teman Yang Mulia."

Ya, dan begitulah. Pada akhirnya mereka semua naik ke atas punggung Norgra demi mencapai istana Norglaraland. Saling berpegangan erat sembari menahan napas akibat rasa ngeri dan takut. Sebab, salah bergerak sedikit nyawa mereka jadi taruhannya.

Dari atas punggung Norgra, para guardian dapat melihat lava gunung berapi yang berwarna merah bercahaya.  Suara letupan dan desis yang dihasilkan oleh gejolaknya terdengar mengerikan seolah-olah bersiap melahap mereka. Sungguh pengalaman yang sangat mendebarkan.














-------------------✨
📝[A/N]

wah, baru sadar terakhir update ternyata dua minggu yang lalu T_T

Lagi-lagi buku ini ku tinggal sampai berdebu dan makin lama ceritanya makin kesini makin kesana :')

Semoga kalian enggak bosan ya, dan sampai jumpa di chapter selanjutnya! See you!

THE GUARDIANS : ROAD TO UTOPIA [ZB1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang