Bagian 21

46.7K 1.9K 54
                                    

Happy Reading!

"Sini mama bantu."ucap Mawar lalu membantu Elia untuk duduk.

"Mah, tuan Revin bagaimana?"tanya Elia pelan. Ia sudah diminta berbaring di sini selama tiga hari dan ia belum mendengar kabar tentang tuan Revin. Jika ia bertanya pasti tidak ada jawaban yang jelas.

Mawar tersenyum. Putranya belum ada kemajuan apapun, tapi mana mungkin ia katakan yang sebenarnya. Apalagi dokter juga sudah wanti-wanti agar Elia tidak banyak pikiran atau nanti akan mempengaruhi bayi dalam kandungannya.

"Suamimu baik-baik saja. Dokter bilang meski Revin belum sadar tapi dia sudah keluar dari masa kritisnya."ucap Mawar membuat Elia menghela napas lega.

"Mah."panggil Elia pelan. Tiba-tiba saja ia ingin melihat tuan Revin secara langsung.

"Ada apa, sayang?"tanya Mawar lembut lalu fokus menyiapkan makanan untuk menantunya.

"Apa Elia boleh melihat tuan Revin?" tanya Elia hati-hati.

Mawar diam sesaat lalu menggeleng."Tidak sekarang, sayang. Dokter bilang kau harus istirahat selama satu minggu dan ini baru tiga hari."ucap Mawar lalu menyuapi Elia bubur.

Elia hanya mengangguk dan menurut. Ia tidak boleh egois dan memaksa. Lagipula tuan Revin pasti marah jika dirinya membahayakan bayi mereka.

Dengan telaten Mawar menyuapi Elia. Sesekali ia juga mengajak menantunya itu untuk mengobrol. Meski nampaknya Elia masih malu-malu dan lebih banyak berbohong tapi tidak masalah, Mawar akan pelan-pelan mencari tahu.

Ceklek

"Mama." panggil Lily yang baru saja datang dengan bingkisan buah di tangannya.

Mawar tersenyum."Kemarilah, sayang!"panggil Mawar lembut.

Lily melangkah mendekat dan mencium pipi mamanya.

"Tidak ke kampus?"tanya Mawar.

Lily menggeleng. "Satu jam lagi, jadi Lily pikir lebih baik ke sini untuk melihat keadaan kak Revin dan kak Elia." ucap Elia lalu meletakkan bingkisan buah yang ia bawa di atas meja.

Mawar mengangguk."Kau sudah sarapan kan sayang? Ingat pesan mama, jangan pernah lupa sarapan meski mama tidak di rumah." ucap Mawar perhatian.

"Sudah mamaku sayang dan kak Jevin juga sudah sarapan." beritahu Lily membuat Mawar tersenyum lega. Ia baru ingin bertanya tentang anak keduanya itu.

Sedang Elia hanya diam. Melihat interaksi Lily dan mama mertuanya membuat Elia tersenyum. Jika nanti ia punya anak perempuan, pasti akan seperti ini juga kan? Saling memberi perhatian dan kasih sayang secara jelas.

"Bagaimana keadaan kak Elia, sudah lebih baik?"tanya Lily perhatian.

Elia mengangguk."Terima kasih."ucap Elia pelan. Bahkan setelah pengakuannya semalam, ia masih dapatkan kebaikan dari seluruh keluarga.

"Kenapa berterima kasih. Kita kan satu keluarga."ucap Lily dan Mawar hanya tersenyum.

"Papamu ada di mana?"tanya Mawar.

"Lily tadi lihat papa bicara dengan dokter."ucap Lily.

"Apa itu sesuatu yang penting?"tanya Mawar cepat.

Lily menggeleng tanda tak tahu."Tapi Lily lihat papa dan dokter bicara dengan santai. Sepertinya bukan hal buruk."

Mawar menghela napas.

"Jika mama cemas, mama bisa menyusul papa dan Lily akan menjaga kak Elia di sini."ucap Lily membuat Mawar mengangguk.

"Bantu kakakmu sarapan ya, mama akan keluar dulu."ucap Mawar lalu menyerahkan mangkuk bubur ke tangan putrinya lalu melangkah keluar dari kamar.

Lily duduk di kursi yang tadi mamanya tempati kemudian mulai menyuapi Elia.

"Apa tuan Revin baik-baik saja?"tanya Elia pelan.

Lily mengangguk."Aku bicara jujur kakak. Aku bisa lihat raut wajah papa yang sedikit sumringah, aku rasa itu kabar baik."

"Lalu kenapa tidak pergi dan mencari tahu. Kakak bisa makan sendiri."ucap Elia lalu berusaha mengambil alih mangkuk bubur di tangan Lily.

"Tidak. Kakak harus habiskan sarapannya dulu."ucap Lily tegas dan Elia hanya bisa pasrah.

Setelah menghabiskan sarapan dan makan beberapa potong buah. Lily pamit untuk pergi kuliah.

"Aku akan minta tolong kak Jevin untuk menjaga kak Elia di sini."ucap Lily lalu mengambil tas dan melangkah keluar dari kamar.

Setelah beberapa menit, pintu kamar kembali terbuka dan wajah tuan Jevin terlihat di sana.

"Tu..tuan."panggil Elia pelan. Ia tidak bisa memanggil adik tuan Revin dengan nama saja.

"Panggil saja Jevin."ucap Jevin datar.

Elia mengangguk."Bagaimana keadaan tuan Revin?"tanya Elia. Jika Lily benar, bisa saja saat ini tuan Revin sudah sadar.

"Kak Revin sudah sadar. Tapi.."

"Bisa bantu aku ke sana. Aku mau melihat keadaan tuan Revin."potong Elia membuat Jevin diam.

"Aku mohon."ucap Elia memelas.

"Baiklah. Tunggu sebentar."ucap Jevin lalu melangkah pergi kemudian datang kembali dengan kursi roda.

Elia tersenyum senang saat ia digendong untuk duduk di kursi roda.

"Terima kasih."ucap Elia pelan.

"Hm."Jevin segera mendorong kursi roda keluar dari sana dan menuju kamar lain yang cukup jauh.

Setelah tiga menit, akhirnya mereka tiba di sebuah kamar.

Jevin perlahan membuka pintu itu dan mendorong kursi roda masuk.

Deg

Elia bisa lihat tuan Revin yang berbaring dengan wajah pucat.

"Kenapa ke sini?"tanya Mawar lalu kembali meminta putranya untuk membawa Elia keluar.

Elia sempat bertatapan dengan tuan Revin selama beberapa detik hingga akhirnya ia kembali dibawa keluar.

"Mah, tuan Revin sudah sadar. Elia mau ke sana."ucap Elia pelan.

Mawar menggeleng."Elia, tolong dengarkan mama. Revin, dia sudah sadar tapi dokter mengatakan bahwa dia hilang ingatan."

Deg

"Hilang ingatan?"

Mawar mengangguk."Hanya beberapa bulan. Ingatan terakhir Revin hanya bahwa dia akan bertunangan dengan Monica."

Elia mengerjap."Jadi tuan Revin tidak mengingat tentang pernikahan kami?"

Mawar mengangguk."Dengar sayang! Kita semua akan membantu memulihkan ingatan Revin tapi untuk sekarang kita tidak bisa memaksanya." jelas Mawar dan Elia mengangguk mengerti.

Untuk saat ini kesehatan tuan Revin adalah yang utama. Elia tidak peduli ia diingat atau tidak.

Bersambung

Menjadi Kesayangan Tuan RevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang