01 - pernikahan tanpa cinta

3K 241 23
                                    

Renjun masih ingat Mama; harum madu yang menenangkan membelai kepalanya manis dan suara lembut yang bersenandung merdu di telinganya setiap malam.

Mama Renjun selalu berkata kalau Renjun adalah permatanya paling berharga, paling indah dan paling cantik-cuma cinta yang boleh menghampiri Renjun, tidak lebih tidak kurang.

Namun seiring Renjun bertumbuh, cinta tidak menghampiri Renjun, melainkan Omega kecil ini harus menjemputnya: mendaki gunung tiga matahari tenggelam untuk menikahi laki-laki dari kawanan penakluk kaumnya dalam perjodohan politik.

Renjun sadar dirinya tidak lebih baik dari trofi cantik-sutera mahal dan kembang goyang berlapis emas di atas kepalanya hanya pembungkus cantik untuk seorang tahanan perang. Bukti bernafas seluruh sabuk kepulauan Selatan bertekuk lutut di bawah dinginnya tirani Kawanan Utara, hadiah negosiasi dari Raja pengecut yang tidak mampu mengendalikan anak sulungnya.

Ronce melati yang memugar wajah Renjun, dan nanti cincin perak di lingkar kecil jarinya, hanya berfungsi sebagai pembuktian bahwa Kalér tetaplah penguasa Tujuh Lautan Agung.

Untuk seseorang yang meninggalkan tanah kelahiran seorang diri- Renjun terlalu tenang, Walau wajahnya ditundukkan dalam hormat, punggungnya tegak dan jalannya mantap, tidak ada rengekan khas Omega dalam keadaan tanpa keamanan supaya tandu keluarga Huang putar balik menuruni gunung secepatnya. Renjun hanya melangkah maju menuju altar batu di mana calon suaminya menunggu.

Calon suami yang akan menyesap anggur sehidup semati bersamanya dengan bibir yang tak pernah ia lihat sebelumnya.


Tidak banyak kabar yang terdengar dari Jeno Lee-calon suami yang Renjun baru pertama kali dengar namanya satu purnama lalu. Pangeran ketujuh Kekaisaran Kalér adalah sebuah enigma-labirin misterius yang tertutup kabut terlalu gelap.

Satu-satunya catatan resmi yang ada tentang sang pangeran menyatakan bulan mati sesaat setelah tangisan pertamanya, maka pengumuman kelahirannya ditunda tujuh tahun, persis ketika pangeran kecil itu diekspor ke pulau terpencil untuk menghindari sial yang akan dibawanya pada alam Kalér.

Sebagai satu-satunya darah daging Kaisar yang tidak tinggal di kastil, eksistensi Jeno tidak pernah lebih besar dari kabar burung.

Rumor mengatakan sang pangeran pembawa sial dan memang bernasib malang. Sejak lahir lemah dan sakit-sakitan hingga dewasa tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Badannya digosipkan amat ringkih ia tidak mampu membangunkannya saat bersetubuh.

Desas-desus lain mengatakan bahkan bohong Pangeran ketujuh seorang Alpha, namun Beta yang menghabiskan hari-harinya frustasi, terdiam sendiri di tengah lautan.

Gong bergaung, gelas-gelas bertalu, dan puji-pujian dalam bahasa yang terakhir kali Renjun dengar ketika Ibunya masih hidup dilantunkan di antara Renjun dan Jeno. Tidak ada tamu yang hadir di pernikahan ini-perang dan kerasnya alam pegunungan menjadi alasan, tapi dalam benaknya ia tahu-Jeno bukanlah sosok yang diperhitungkan oleh para petinggi istana.

Adat Utara yang kental, alunan musik sendu dalam rangkaian seremoni purba-semuanya hanya hidangan pembuka untuk adegan utama hari itu,

"Dengan pengawasan dan kekuatan dariku daripada dewa-dewa, Alpha Jeno Lee dan Omega Huang Renjun dipersatukan menjadi pasangan yang satu, dalam kematian seharusnya mereka berpisah."

Dengan suara nyaring sang pendeta, Renjun merasakan pandangannya menerang, veil nya di sibakkan dengan lembut, dan untuk pertama kalinya ia bertatap mata dengan Jeno Lee.

Nafas Renjun direbut dari kurungan dadanya.

Renjun hampir tertukar antara Adonis dan putra kaisar haus kekuasaan yang mencabut dirinya dari keluarga yang ia cintai.

Kawanan Utara memang umumnya pucat, namun pria yang berdiri di depannya seperti marmer dihembuskan nafas kehidupan. Kedua matanya tenang dan gelap, segelap rambutnya yang ditata rapi dalam sanggul di pucuk kepala. Hidungnya tinggi dan rahangnya tajam mustahil, seperti Dewa di bumi yang dibicarakan buku-buku mitologi Barat.

Ketika kedua tangannya menyibak veil Renjun ke belakang telinganya, Renjun tidak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Jeno-perpaduan fitur-fitur wajahnya tampan dan maskulin di atas badan tegap dan kaki panjang, mimpi dipahat dalam tubuh fana.

Apapun hembusan kabar tentang sang pangeran terbukti cuma omong kosong belaka. Jeno yang nyata jauh dari deskripsi pangeran lemah dan sakit-sakitan yang kerap Renjun dengar dahulu di Selatan.

Jeno tak terbantahkan Alpha yang kuat: dominan, rakus, memabukkan. Entah pelatihan apa yang membuat aroma Jeno begitu padam, namun jika hidung sensitif Renjun berada pada Omega dengan kontrol jauh lebih rendah dia mungkin sudah gemetar dan mempersembahkan dirinya untuk dipuja begitu satu Command keluar dari mulut sang Alpha.

Kedua manik Jeno menatap Renjun sedingin udara yang menggerogoti puncak gunung Nagacitā. Tak ada hangat dan cinta, hanya berbongkah-bongkah es terperangkap dalam wajah tampannya seraya Jeno melangkah maju tanpa ekspresi.

Untuk sepersekian detik Jeno mengernyitkan dahinya, aromanya bimbang dan ragu- sebelum menangkup dagu Renjun dan mengusap cepat ujung bibirnya pada kening Renjun-seperti tangan telanjang di atas panas ketel.

Ciuman di kening adalah tanda penolakan final dalam tata krama Taiyang.

Usap halus bibir lembut Mama di kening Renjun ketika Renjun merengek meminta porsi es krim kedua di tengah kekeringan panjang, atau ciuman yang Renjun sendiri berikan atas pernyataan cinta sepupu keduanya.

Setelah pertukaran sumpah di awal, tak sekalipun Jeno sudi memandang Renjun di matanya.

Ya Dewa, bahkan Jeno seperti tidak sudi menyentuh Renjun, menjaga jarak dalam waspada seolah-olah Renjun wabah menjijikan.

Ketika dua piala perak telah habis dari anggurnya, dan matahari terbenam di ceruk pegunungan, Renjun tahu benar akan melangkahkan kaki ke dalam hubungan seperti apa.

Maaf Mama, Renjun mungkin takkan bertemu cinta dalam pernikahan ini.

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang