06 - menjejak bumi di luar pagar

1.3K 166 9
                                    

Burung-burung berkicau di atas jalan setapak batu di kota. Walaupun matahari masih mengintip di ufuk timur, pasar utama pulau Bwinja sudah ramai dengan kebisingan toko-toko yang menawarkan dagangan dan kedai-kedai yang menyuguhkan makanan harum.

Ini bukan pertama kalinya Renjun menginjakkan kaki keluar istana dan semarak rakyat Kalér yang berbeda dengan Taiyang masih memukau dirinya.

Jeno mengekor dua langkah di belakangnya, bayang-bayang Alpha suaminya melingkupi seluruh tinggi badan Renjun seraya mereka menyusuri jalan yang meriah menyambut musim semi.

Mereka berdua memutuskan untuk jalan-jalan pagi tanpa ambil pusing, hanya membawa dua orang pengawal dan kuda mereka masing-masing. Jeno meninggalkan hanbok berbordirnya di rumah dan Renjun menukar hanfu kuning kesukaannya dengan yang lebih tidak mencolok.

"Tuanku, apakah memang biasanya semeriah ini?" Renjun berbisik di telinga Jeno, berjinjit untuk melakukannya.

Memang luar biasanya kekaisaran besar, sisa-sisa perang selama empat tahun yang lalu tidak terlalu tampak pada pulau kecil tanpa kepentingan seperti Bwinja. Jalan ini ramai dengan ekonomi yang berputar, orang-orang berdesakan membeli dan menjual seperti perang besar tidak pernah ada.

Bahkan terlalu berjejal-jejalan hingga Jeno harus mendekap pinggang Renjun, membawanya dekat ke dada supaya tidak terhempas orang lalu lalang. Renjun bisa mencium nanar cendana Jeno, harum dan maskulin. Aroma Jeno terlalu dekat dengan hidungnya, membuat jantungnya ikut berdetak cepat.

"Hmm, aku kurang yakin." tenang Jeno.

Orang Utara memang terbiasa beraktivitas dari pagi-pagi buta, sehingga jam ramai justru di pagi hari. Matanya menangkap buah-buah di etalase, tak ada satu pun keranjang yang penuh padahal belum banyak pelanggan yang mampir.

Jeno bergegas untuk mencari tahu sendiri, paling tepat adalah mendengarkan keluhan langsung dari sumbernya, dari mulut rakyat.

Kata-kata Jaemin minggu lalu masih terngiang di benaknya,

"Ayahku sedang bingung, bukannya dengan jatuhnya Taiyang, Operasi Tujuh Pulau sudah selesai? Sekarang istana pusat malah minta donasi dari semua pejabat dan memanggil laki-laki Alpha untuk berperang." Jaemin berdecak samar ketika ia mengunjungi Jeno di paviliun Lotus.

Renjun dan istri Jaemin tidak lagi duduk bersama mereka, keduanya menyingkir ke dapur sesaat sebelumnya. Istri Jaemin ingin menunjukkan bagaimana cara menyimpan biji kopi kesukaan Jaemin supaya tetap harum. "Seperti ayahku kurang banyak membayar pajak saja."

"Nana, kamu paling tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa." Ujar Jeno sedih.

Jaemin melihat raut wajah Jeno yang sarat ketidakberdayaan. Jaemin meraih tangan Jeno dan meremasnya dalam penyesalan, seharusnya ia bisa lebih baik, "Maaf Jen."

Namun rasa kesal di dalam tubuh Jaemin sudah sampai ke ubun-ubun, "Apapun itu, aku rasa ada yang tidak beres di ibukota."

Ketika Jeno kembali dari blusukan singkatnya di pasar Bwinja, ia mendapati Renjun sedang bermain dengan anak-anak kecil di pasar.

Hatinya hangat melihat Renjun yang dengan rendah hati ikut berjongkok di setapak kotor dan tak rata pinggiran jalan. Kalau bukan karena pakaiannya, Renjun tidak beda dengan anak-anak yang sedang ia ajak bermain hompimpa.

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang