16 - mempercayai minhyung

632 81 4
                                    

Catatan Istana Naga menyatakan Selir Kim wafat satu tahun setelah pengumuman kelahiran Jeno, namun tak ada satu pun bukti mengarah pada alasan kematiannya.

Hati manusia adalah kontradiksi yang berdentum hidup. Duka yang mendalam membuat mati rasa, mengelukan hati orang-orang tercinta, membuat berita buruk lazim ditunda. Pengumuman kematian tak terkecuali—Dewa-Dewa hanya murka bila kehendak Nya ditolak, tapi mereka tidak akan marah bila kepergian orang tersayang ditunda, selama tidak dibatalkan. Kaisar terdahulu bahkan ada yang baru diumumkan setelah lima tahun lamanya.

Kendati demikian, penasaran Renjun hanya semakin kuat. Apa yang sebenarnya disembunyikan? Benarkah kematian Ibu Jeno tidak wajar? Mengapa mereka sangat senang menunda?

Kala Renjun bertanya mengenai sang ibunda, setiap kali pula Jeno tidak bisa memberikan jawaban. Seperti ada kabut yang memenuhi pikiran Jeno setiap masa lalunya diungkit.

Jeno tidak bohong ketika ia bilang tidak ingat banyak dari masa kecilnya. Berulang kali Jeno bilang hanya ingat ibunya mencium kening Jeno sambil menimang-nimang tubuhnya. Memori lain adalah dengan ayahnya juga, bergilir mencium kening ibu, lalu kening Jeno sampai ia tersenyum geli.

Jeno hanya punya memori-memori biasa tanpa petunjuk, bahagia seperti keluarga kecil yang harmonis. Sisa memori lainnya adalah fragmen-fragmen malam kematian ibunya, yang membuat kepala Jeno sakit dan hatinya sedih bila berusaha diingat. Itu saja yang bisa Jeno utarakan bila ditanya tentang sang ibu.

Renjun bisa mencium frustasi dan kekesalan dari cendana Jeno kala ia tidak berhasil menggali ingatannya, sampai memukul-mukul kepala dan menjambak rambutnya—membuat Renjun iba.

Renjun akhirnya memohon Jeno berhenti, tidak tega suaminya melukai diri sendiri. Renjun melepaskan kepalan tangan Jeno pelan-pelan lalu memeluknya hangat, menyandarkan kepala pada dada suaminya.

Sambil mengusap-ngusap Jeno menenangkan, Renjun mengucap kata-kata cantik dan membisikkan Jeno penghiburan penuh sayang.

Dalam dekapan Jeno, Renjun tidak lagi berani bertanya.

Jeno masih mendusal pada leher Renjun setiap pagi, masih mencari melati Renjun dan berlama-lama scenting membuat harum mereka tak lagi bisa dipisahkan. Tapi, Jeno dengan protektif melarang Renjun berlaku macam-macam. Serangan di hutan membuat Jeno khawatir berlebihan dan protektif bukan kepalang untuk Renjun. Di awal periode Renjun sembuh, Jeno bahkan menawarkan diri menggendong Renjun kapanpun ia butuh.

Selain perhatian tak terbagi yang Jeno curahkan, perilaku Jeno juga menjadi aneh.

Bermula dari Jeno yang tidak lagi mengajak Renjun untuk dinas atau kunjungan ke luar istana. Berakhir dengan Jeno mengambil alih beberapa pekerjaan Renjun, melaporkan hasilnya saja kala Renjun bertanya apa yang harus ia kerjakan.

Renjun tak ayal merasa bagai burung pegar dikungkung dalam sangkar emas, dilarang melakukan apa-apa.

Terlebih, Jeno begitu sibuk. Simbol wisteria yang Jeno temukan menjadi katalis dendam penasaran yang sudah bersarang dalam hatinya sejak kematian Panglima Jung. Jika ada waktu luang, Jeno menghabiskannya mendekam di ruang belajar, menyusuri dokumen-dokumen atau pergi keluar, mencari petunjuk.

Terlalu larut dalam dunia sendiri, Jeno tidak sadar ia jarang menghabiskan waktu dengan Renjun. Jeno takut Renjun sakit lagi, namun Renjun merindukan berbincang dengan Jeno. Rasanya mereka kembali pada titik awal saat pertama bertemu. Renjun tak kuasa merasa Jeno tak tergapai, meskipun ia tidur di sampingnya setiap malam.

Renjun takut Jeno nya pergi terlalu jauh dan tak bisa ia kenali lagi.

"Jeno? Kamu sudah akan pergi?" tanya Renjun, jari-jari berhenti melayang di atas senar guzheng yang baru akan dipetiknya.

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang