04 - minum arak di kolong langit

1K 150 15
                                    

Pagi ini istana sedang ramai untuk mempersiapkan hari musim dingin terpanjang. Warga Utara memaknai hari ini adalah kelahiran kembali sang Matahari, dan sudah sepatutnya semua orang menghormatinya dengan berjaga di rumah. Dupa-dupa telah dinyalakan dan lentera digantung di atap-atap paviliun.

Karena hari ini pula, Jeno akhirnya kembali ke istana Bwinja setelah empat hari bercengkrama di pesisir pulau. Perlu Jeno akui, ia mulai merindukan kamar dan ruang kerjanya, akan tetapi, bukannya cepat-cepat, sejak sore Jeno tidak berada di paviliun manapun, melainkan bercengkrama di kedai minuman di pinggir kota.

"Lalu, mengapa kamu ada disini, bukannya bersama Omega mu?" Nana menatap Jeno dengan malas. Hanbok merah muda Nana menyapu permukaan meja seraya ia bertopang dagu.

Bibir Nana dimajukan, namun tidak mengurangi secuil pun keatraktifan wajahnya–sepasang mata rusa yang besar, hidung tajam, dan dagu ramping.

Harum semak raspberry menguar dari pergelangan tangannya, tapi Jeno cukup tahu itu sisa-sisa olahan selai yang menempel pada teman kecilnya itu.

"Uh, Nana, aku sendiri tidak tahu."
Nana, Na Jaemin, menenggak kasar kopi hitam pada sloki miliknya sebelum menyuguhkan segelas porselen soju kepada Jeno.

Walau dengan cemberut di bibirnya, paras Jaemin memang cantik dan lembut. Berulang kali ia diramalkan akan menjadi Omega anggun yang dipinang belasan Alpha. Beruntung hal itu tidak terjadi, Jeno enggan dalam seribu tahun mengiyakan cocoklogi pejabat-pejabat Bwinja untuk menjadikan Jaemin–putra tunggal pedagang terkaya Bwinja yang menguasai lima puluh persen perkebunan kesemek–pasangan hidupnya. Di balik kemasan menipu tersebut, Jeno mengenal mulut tajam Jaemin lebih baik dari siapa pun.

"Apa dia ketus? Apa dia merisakmu? Apa dia mata duitan dan memeloroti uangmu? Sudah aku bilang kan, harusnya kamu perjuangkan pernikahan cintamu itu."

"Tidak, tidak Jaemin. Yang Mulia Renjun Omega sempurna, jangan bicara begitu," Jeno membekap mulut Jaemin dengan sebelah tangannya, mendapatkan omelan kumur-kumur yang terhimpit kulit.

"Masalahnya bukan itu, aku canggung dan kaku begini, namun dia... Dia begitu bercahaya, menawan, dan menarik. Aku sudah bilang belum ya, dia juga cakap sekali–wawasannya luas dan sulamannya indah."

"Sekarang saja aku bisa bicara banyak begini, tapi setiap kali aku melihat matanya... Uh rasanya kata-kataku mati padahal belum sampai lidah." Ujung-ujung bibir Jeno menurun membentuk lengkungan sedih.

Tanpa dia sadari, Jeno seolah menghindar untuk bertemu Renjun. Mencari-cari pekerjaan tambahan, singgah satu hari lebih panjang di pemukiman penduduk, mengawasi hingga batu terakhir pemecah ombak terpasang, walaupun ia tidak wajib melakukan itu semua.

Hatinya sebegitu gugup untuk menemui Renjun walaupun rindu dan ketertarikan yang menggerogoti tidak kalah membuncah.
Jaemin tersenyum menyeringai. Di bawah jingga mentari senja, Jaemin mengamati warna merah yang membumbung ke wajah Jeno dan aroma kesturi samar tercium oleh Jaemin–aroma bahagia yang bahkan hidung Betanya bisa kenali dengan mudah, produk bertahun-tahun persahabatan mereka.

Bulu mata panjang dan tebalnya Jaemin kedip-kedipkan mengejek ke arah Jeno, seperti Alpha itu bukan pangeran imperial tapi teman masa kecilnya yang tinggal bertetangga, "Hei, kamu terpesona setengah mati dengan pangeran asing itu."

Sekarang Jeno memerah seutuhnya hingga ke ujung-ujung telinganya.

Jeno berusaha untuk berdeham, namun Jaemin hanya mendekat usil, nyaris menempelkan keningnya pada kening Jeno, "Lalu kamu tahu? Setelah terpesona, sangat mudah untuk jatuh cinta dan tidak pernah kembali lagi.

"Aku tidak tahu Nana, masa iya aku mencintainya. Apakah bisa mencintai seseorang padahal belum ada satu purnama kita saling mengenal?"

"Hmm, sah saja. Aku jatuh cinta pada Persik Kecilku dari pandangan pertama, tiga tahun kemudian aku cuma semakin mencintainya."

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang