"Selamat pagi," Suara berat Jeno memasuki pendengaran Renjun.
Tanpa Renjun membuka mata, ia tahu matahari belum merasuk kamar utama Bwinja.
Renjun mengerjapkan mata perlahan, lalu berbalik untuk melihat mata teduh Jeno yang bersimpuh di samping futonnya, sudah rapi dibalut hanbok abu-abu tua- model yang sama dengan seluruh hanbok kepunyaannya- dan sanggul di atas kepala.
Di sebelah pahanya terdapat sehelai waslap dan baskom perunggu, Renjun asumsikan dia sudah selesai membasuh dirinya.
Renjun terperanjat.
Ketika ia kira ia sudah berhasil bangun di jam yang sama dengan suaminya lima hari belakangan ini, "Yang Mulia, maafkan saya terlambat bangun hari ini."
Jeno menggeleng, "Tidak-tidak. Kamu tidak terlambat, sekarang baru jam empat. Saya membangunkanmu karena saya akan pergi jauh hari ini, ke batas laut."
Renjun menegakkan badannya, "Pergi lagi, Tuanku? Bukankah ada angkatan laut untuk memeriksa pertahanan di laut lepas?"
Jeno meringis samar. Musim dingin sudah tiba dan Bwinja, pulau kecil di ujung antah berantah yang minim sumber daya butuh segala sesuatu untuk bertahan hidup. Air muka Renjun terlihat kecewa-setidaknya itu Jeno bisa tentukan. Tapi sungguh semua hal bertubi-tubi ini di luar kuasanya, terlebih karena pernikahannya sendiri juga datang tiba-tiba.
"Apakah itu, Tuanku?"
"Pembangunan pemecah ombak."
"Apakah ini seperti yang dilakukan di Laut Barat?" Renjun bertanya, ia sendiri pernah mendengar inovasi ini dan ia sendiri terpukau akan ide sederhana, namun brilian tersebut.
Untuk sepersekian detik, mata Jeno berkelit penuh binar, "Benar sekali. Energi yang dihasilkan dari ombak bergulung begitu besar, saya mengusulkan ombaknya dipecah terlebih dahulu supaya pesisir Bwinja tidak tergerus."
"Baik Yang Mulia, tapi mengapa Anda harus pergi pagi-pagi buta begini?"
Renjun memiringkan wajahnya kebingungan. Ia paham betul logika dibalik teknologi tersebut, namun tidak memahami mengapa Jeno harus pergi.
"Ini... Ini asalnya dari ide saya, jadi saya yang harus datang," Jeno menggaruk pipinya malu, ujung telinga nya memerah, "ah bagian itu kurang penting, tapi pembangunannya harus selesai secepatnya sebelum gaya tarik bulan akan menyebabkan pasang."
Renjun mengerjap menatap suaminya. Pertanyaan-pertanyaan lain masih memenuhi benaknya, namun Renjun memutuskan untuk melepas Jeno secepatnya, memainkan peran pasangan jinak yang takut mengganggu suaminya lama-lama.
Renjun memberikan hormat, bersimpuh hingga keningnya menyentuh permukaan anyaman alas tidur di kamar tersebut, "Sampai jumpa Yang Mulia, semoga perjalananmu senantiasa aman."
Renjun melemparkan senyum manis tanpa cela hasil latihan bertahun-tahun sementara Jeno di depannya menundukkan kepalanya seadanya.
Tanpa senyum, Jeno tampak seperti patung marmer berbalut sutera.
Dengan sopan, Jeno meminta izin, sebagaimana yang ia selalu lakukan sebelum-sebelumnya, "Bolehkah saya scent Anda, Yang Mulia?"
Sebagaimana yang Renjun selalu lakukan sebelumnya, ia mempersembahkan lehernya untuk Jeno.
Jeno merengkuh pundak sempit Renjun, menghirup aroma melati yang menguar dari kelenjar scent tepat di bawah telinganya. Renjun bisa merasakan sentuhan Jeno; lembut namun kokoh melingkupi figurnya.
Bohong kalau Renjun dan Omeganya tidak suka ini, perasaan yang aman dan nyaman, membiarkan harum kesturi Jeno berpadu hingga melatinya tak lagi dikenali, mengundang ratusan kupu-kupu bersarang di bawah perutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
melati (noren | reupload)
FanficHuang Renjun, Pangeran ke dua Kerajaan Taiyang dinikahkan pada Lee Jeno, Pangeran Ketujuh kekaisaran Kalér -kekaisaran besar di Utara-sebagai bukti keberhasilan takluknya monarki independen terakhir dari Sabuk Kepulauan. [ARCHIVE - Reupload melati (...